Friday, 26 January 2018

Selamatkan Imanmu, Jauhi Sifat Tamak



SEBUAH riwayat mengenaskan tentang anak manusia yang sangat tamak terhadap dunia disampaikan oleh Jarir bin Laits dalam buku Al-Ilajul Qur’ani karya Dr. Muslih Muhammad.
Suatu waktu seorang pria menemani Nabi Isa Alayhissalam. Mereka pun berdua pergi dan berhenti di tepi sungai. Keduanya duduk dan makan. Kala itu ada tiga roti. Mereka pun makan dua roti, sehingga tersisa satu roti.




Karena suatu keperluan, Nabi Isa menuju sungai lalu minum. Dan, ketika kembali beliau melihat roti yang tersisa tidak ada. Beliau pun bertanya, “Siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu dengan wajah tanpa dosa menjawab, “Tidak tahu.”
Keduanya pun pergi. Kala melihat seekor betina rusa dengan dua ekor anaknya. Nabi Isa memanggil salah satunya lalu disembelih dan memanggangnya. Kemudian makanlah mereka berdua. Selanjutnya Nabi Isa berkata kepada rusa yang telah dipanggannya tadi. “Bangkitlah dengan izin Allah.”



Kemudian rusa itu bangkit dan berkata kkepada lelaki itu. “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu kembali menjawab, “Tidak tahu.”
Keduanya pun beranjak pergi dan berhenti di sebuah danau. Nabi Isa menggandeng tangan lelaki itu dan mereka berdua berjalan di atas air. Setiba di seberang danau, Nabi Isa bertanya, “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Ia tetap menjawab, “Tidak tahu.”

Keduanya kembali pergi dan berhenti di suatu dataran. Nabi Isa lalu mengumpulkan tanah debu kemudian berata, “Jadilah emas dengan izin Allah.”


Maka tanah dan debu itu berubah menjadi emas. Nabi Isa pun membaginya tiga bagian. “Sepertiga untukku, sepertiga untukmu, dan sepertiga lagi untuk yang mengambil roti.” Lelalki itu sontak berkata, “Akulah orang yang mengambil roti itu.” Mengetahui itu, Nabi Isa berkata, “Semuanya untukmu.”

Nabi Isa dan lelaki itu pun berpisah. Lelaki itu pergi sendirian dan berhenti pada dua orang pria di sebuah padang passir. Melihat emas yang cukup banyak dua lelaki itu bermaksud merampasnya. Namun cerdik lelaki yang membawa emas. “Kita bagi tiga saja. Sekarang satu orang ke pasar membeli makanan.”

Satu orang pun bergegas ke pasar. Tidak lama lelaki yang membawa emas itu berkata kepada lelaki yang menungguinya, untuk apa membagi emasnya dengan dia, lebih baik untuk kita berdua saja, nanti datang kita bunuh saja orang yang beli makanan ke pasar itu. Sementara yang ke pasar berpikir, buat apa dibagi. Lebih baik kuracuni saja makanan ini lalu kubunuh mereka berdua.

Setelah bertemu, kedua lelaki itu langsung membunuh lelaki yang membawa makanan dari pasar. Kemudian keduanya memakan makanan yang telah diracun, sehingga semua mati. Tinggallah emas itu tergeletak di padang pasir.

Kemudian Nabi Isa melintas di tempat itu dan berkata kepada para sahabatnya, “Inilah dunia, maka waspadalah kalian terhadapnya.”
Tamak adalah lawan dari qanaah (menerima, puas diri). Orang yang tamak memang tidak pernah kenal puas dengan yang namanya harta. Bak seekor kera yang mendapati pisang berhamburan, kala kedua tangannya telah penuh, maka digunakannya pula kedua kaki dan mulutnya untuk menggenggam kuat makanan favoritnya itu.

Dalam logika manusia secara umum, semakin banyak yang didapat tentu semakin baik. Tetapi tidak dalam Islam. Sifat tamak justru menjatuhkan seorang manusia pada kehinaan hakiki.


Umar bin Khathab berkata, “Tamak adalah kemiskinan dan putus asa darinya adalah kekayaan. Karena siapa yang berputus asa terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya dia tidak akan membutuhkannya.”

Dengan kata lain, orang yang tamak akan melemah, membeo dan menghujamkan dirinya pada kehinaan jika bertemu dengan apa yang diharap-harapkannya selama hidupnya, entah itu berupa harta kekayaan, jabatan dan lain sebagainya.

Disaat yang sama, dirinya merasa tidak keberatan mesti harus diinjak-injak harga dirinya, meski harus menjilat ludah sendiri, asalkan harta, tahta dan fasilitas yang diharapkannya dapat dimiliki.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika seseorang tamak pada sesuatu, niscaya dia akan memintanya (pada orang lain), maka lenyaplah agamanya. Sedangkan rakus akan membuat jiwa buas, sehingga kamu tidak suka kehilangan sesuatu. Ia akan memenuhi berbagai kebutuhan untukmu. Jika ia telah memuhi berbagai kebutuhan untukmu, maka dia akan menggiringmu kemanapun yang dia inginkan. Dia akan menguasaimu, maka kamu akan tunduk padanya.”

Masih menurut Fudhail bin Iyadh, “Di antara cintamu kepada dunia adalah kamu memberi salam kepadanya (kepada orang yang memberi) jika kamu lewat padanya, dan kamu akan menjenguknya jika dia sakit. Tapi kamu tidak pernah memberi salam kepadanya ikhlas karena Allah dan tidak pernah menjenguknya ikhlas karena Allah. Seandainya kamu tidak punya kebutuhan, maka itu lebih baik bagimu.”

Hal ini terjadi karena memang dalam tamak tidak ada ruang bagi hati untuk qanaah, ridha. Sebaliknya tumbuh subur angan-angan, hawa nafsu dan beragam hasrat yang tak terkendali terhadap dunia.


Lantas apa yang mesti dilakukan agar terhindar dari sifat tamak?
Pertama, fokus dan komitmen meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Orang yang akan selamat dari sifat tamak adalah yang fokus mengejar keridhoan Allah Ta’ala. Dirinya sadar dunia hanyalah tempat ujian dan setiap manusia akan bertemu ajal. Dalam situasi seperti itu jiwa tidak akan memedulikan apa yang ada dalam genggaman, selain menggunakan waktu dan tenaga yang ada untuk terus taqarrub kepada-Nya.

Kedua, memahami hakikat dunia dengan sebaik-baiknya.
“Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain.” (HR. Muslim).

Ketiga, tundukkanlah dunia dengan mencari akhirat.
Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah bersabda, “Siapa yang niatnya akhirat, maka Allah akan menggabungkan keduanya, dan menjadikan kekayaan di dalam hatinya. Dunia akan datang kepadanya dengan merendah. Namun siapa yang niatnya dunia, maka Allah akan memecah urusannya dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dunia tidak akan datang kepadanya selain apa yang telah ditentutkan oleh Allah untuknya.” (HR. Ahmad).

Keempat, yakin dengan kekuatan Allah.
Dari Ibn Abbas, Nabi bersabda, “Siapa yang suka menjadi manusia yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling mulia, maka bertaqwalah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling kaya, maka jadikanlah apa yang ada pada Allah lebih ia percayai dari yang ada di tangannya.” (HR. Ahmad).

Kelima, yakin dengan pengaturan Allah tentang rezeki.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud [11]: 6).
Dengan demikian untuk apa tamak harus ada di dalam hidup kita? Bukankah semua telah Allah atur dengan sebaik-baik pengaturan. Dan, kehidupan dunia ini tiadalah melainkan senda gurau yang sementara, maka mengapa tidak kita bersusah payah menuju akhirat daripada menggenggam dunia yang akan sirna. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Thursday, 25 January 2018

Mengukuhkan Kepribadian Muslim



KEPRIBADIAN Muslim mempunyai ciri yang begitu menonjol, yang membedakannya dari kepribadian lain. Ciri itulah kekuatan yang mendorong serta memerintahkannya untuk menempuh cara-cara yang baik, makruf, serta menjadikannya manusia perkasa, tidak lari dari perjuangan.



Berada di pihak yang benar, ia tak takut sedikit pun, serta tidak meremehkan untuk memerintahkan kepada kebajikan dan melarang kemungkaran. Sebab di dalam jiwanya tak ada sifat pengecut. Itulah sosok yang kuat nyalinya. Jika menghadap kepada Penciptanya untuk beribadah, semua anggota tubuhnya senantiasa bersemangat. Dan manakala menghadapi kesulitan dan penderitaan, ia bersabar, ridha, serta memohon pertolongan kepada-Nya.

Selain itu, ia adalah sosok yang tidak mudah terpedaya oleh angan-angan dan ilusi-ilusi dusta. Perkara-perkara yang telah berlalu, juga tidak menjadikannya terpedaya. Semua itu karena ia selalu optimis menatap masa depannya, tulus, penuh keyakinan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jika demikian, kekuatan apakah itu? Sebuah kekuatan yang menjadikan kepribadian Muslim mampu mengarungi badai kehidupan, menyingkirkan segala kesulitan dengan nyali yang tak pernah melemah dan semangat pantang menyerah. Tak lain, kekuatan itu adalah kekuatan iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta ketulusan hubungan dengan-Nya. Itulah kekuatan yang pernah diisyaratkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, dan nyali seorang Muslim diharapkan bisa bangkit karenanya. Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda,

“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai daripada orang mukmin yang lemah. Tamaklah dalam setiap kebaikan yang bermanfaat bagimu, dan mohon pertolonganlah kepada Allah. Dan janganlah lemah. Jika ditimpa sesuatu, janganlah engkau mengatakan, ‘Seandainya aku melakukan begini, tentu kejadiannya begini dan begitu’. Namun katakanlah, ‘Inilah ketentuan Allah. Jika Dia berkehendak, niscaya melakukannya.’ Sebab jika ia mengatakan seperti ‘Seandainya…’, hal itu membuka pintu bagi setan.” (Muslim).


Orang mukmin yang kuat mempunyai dua unsur penting dari berbagai unsur penting dalam pembentukan kepribadian yang teguh. Pertama, unsur iman. Kedua, unsur kekuatan. Sehingga, selain beriman, ia pun mempunyai kekuatan. Jika ia hanya beriman tanpa kekuatan, tak pelak lagi imannya itu adalah iman yang lemah. Namun jika ia kuat saja, tidak disertai iman, maka kekuatannya tak berbeda dengan binatang.


Orang mukmin yang berkepribadian kuat, sesekali tak akan melemah, apalagi lesu tanpa daya. Ia tak menjadi tawanan bagi dorongan-dorongan biologisnya. Ia tak sekadar mengikuti hawa nafsu. Jiwanya tegar, bertingkah laku dan bertindak layaknya orang-orang berakal, yang beramal demi keberuntungan setelah kematian. Syadad bin Aus ra. menuturkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,
“Orang yang berakal adalah orang yang menguasai nafsunya serta beramal untuk kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsu lantas kepada Allah menaruh impian dan angan-angan.” (Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim).


Rasulullah berlindung kepada Allah dari ketakberdayaan serta beberapa unsur kerendahan dan kehinaan yang melemahkan iman. Anas bin Malik ra menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ketakberdayaan, malas, takut dan kikir. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta fitnah kehidupan dan kematian.” (Muslim).*/DR. Ahmad Umar Hasyim, dari bukunya Menjadi Muslim Kaffah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Jaga Keprcayaan Dengan Kejujuran







BETAPA kejujuran dianggap sebagai harta tak ternilai dalam pergaulan di dunia ini. Sejak kecil, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pergi berdagang dengan pamannya ke negeri-negeri tetangga. Beliau membawa modal dari beberapa pengusaha kaya, kemudian kembali ke kampungnya dengan membawa keuntungan dari hasil berdagang. Karena sangat jujurnya beliau, sampai-sampai beliau dijuluki “al-Amin” oleh masyarakat sekitarnya, yang berarti “dapat dipercaya”.

Betapa kita akan menjadi sangat kecewa dan sakit hati apabila kita dibohongi oleh sahabat kita, atau oleh orang lain yang kita kenal. Karena begitu mahalnya nilai sebuah kejujuran maka siapa yang menodai kejujuran itu dengan kebohongan, haruslah ia berjuang kembali dari awal untuk memperoleh kepercayaan penuh lagi dari teman-teman yang dulu pernah memercayainya. Sekali kita berbohong, selamanya orang tidak akan percaya lagi kepada kita. Kira-kira begitulah ungkapan yang menggambarkan betapa berartinya sebuah kejujuran.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa tidak ada akhlak yang paling dibenci Rasulullah lebih dari bohong. Apabila beliau melihat seseorang bohong dari segi apa pun, orang itu tidak keluar dari perasaan hati Rasulullah sampai beliau tahu bahwa orang itu telah bertobat.

“Sesungguhnya orang yang paling kubenci dan yang paling jauh dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang banyak omong kosong, bermulut besar lagi berlagak tahu.” (HR Tirmidzi).

Rasulullah pernah bersabda, “Ada tiga hal yang barangsiapa memiliki semuanya maka dia munafik sejati. Dan barangsiapa memiliki salah satu di antaranya, berarti dia mempunyai satu jenis sifat munafik hingga dia meninggalkannya. Yaitu bila diamanahi dia khianat, bila berkata dia dusta, dan bila berjanji dia mengingkari.”

Maka, lidah yang tidak terjaga dengan baik, menebarkan dusta, dan menyebabkan khianat, itulah orang yang munafik. Maka, berhati-hatilah kita dalam memikul amanah.

Seorang karyawan mendapatkan promosi ke jenjang manajer, itu adalah amanah. Jangan sampai amanah tersebut dikhianati dengan cara mengorupsi waktu kerja dengan membaca koran, bermain game di komputer, atau pun menindas bawahan. Itu contoh orang yang tidak amanah. Dia tidak dapat menanggung amanah yang diberikan kepadanya dan menganggap remeh amanah yang diusungnya.

Demikian juga apabila kita dititipi sesuatu oleh teman kita untuk diberikan kepada teman kita yang lain, jangan sampai barang yang diamanahi itu kita sia-siakan, terlebih tidak kita berikan kepada yang berhak menerimanya. Ada seseorang yang diberikan amanah oleh temannya, “Wahai sahabatku, berikanlah pakaian ini kepada Fulan. Dan katakanlah bahwa pakaian ini adalah pemberian dari diriku melalui dirimu.” Kemudian orang tersebut melihat bahwa pakaian itu indah, maka diambilnya beberapa potong pakaian itu, baru selebihnya diberikan kepada Fulan. Ini adalah contoh orang yang tidak amanah. Dia berkhianat, padahal sejak awal ia sudah menyanggupi amanah tersebut.

Rasulullah bersabda, “Seberat-berat agama adalah memelihara amanah. Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak memelihara amanah, bahkan tidak diterima shalat dan zakatnya.” (HR al-Bazzar).

Begitu pula dengan perkataan kita. Ibn Arabi berkata, “Barang siapa lisannya diam, tapi hatinya tidak maka dosanya akan ringan. Barangsiapa lisannya diam dan juga hatinya diam maka yang rahasia akan menjadi jelas baginya, dan Allah akan menjadi jelas pula baginya. Barangsiapa hatinya diam, tetapi lisannya tidak maka dia akan berkata dengan kata hikmah. Barangsiapa yang lisan dan hatinya tidak diam maka itu adalah kekuasaan setan dan ia tunduk kepadanya.”

Pada satu kesempatan Rasulullah memberikan nasihat kepada Abu Dzar, “Jika kau ditanya sesuatu yang tidak kau ketahui, jawablah, ‘Saya tidak mengetahui, supaya selamat dari tanggung jawabnya, dan jangan memberi jawaban terhadap apa yang tidak kau ketahui, supaya selamat dari siksa Allah pada hari kiamat.”

Rasulullah pun memberi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib mengenai kejujuran, “Seorang alim memiliki tiga ciri, yaitu perkataan yang jujur, sikap menjauhi barang yang haram, dan tawadhu. Orang yang jujur juga memiliki tiga ciri, yaitu menyembunyikan ibadah, menyembunyikan sedekah, dan menyembunyikan musibah.”

Maka, betapa pentingnya kejujuran dalam hidup ini sehingga Rasulullah bersabda, “Perhatikanlah kejujuran. Apabila kamu memandang bahwa kebinasaan berada di dalam kejujuran, sebenarnya di dalamnyalah keselamatan.”

Oleh karena itu, janganlah kita takut tidak punya rezeki, tapi takutlah apabila kita tidak punya jujur dalam cara mendapatkan rezeki karena bukankah Allah Yang Mahakuasa tidak pernah lalai dalam mengatur rezeki setiap makhluk-Nya, seperti yang difirmankan, “Tidak diciptakan makhluk, melainkan juga dengan rezekinya.

Janganlah pula kita takut tidak punya jabatan, tapi takutlah apabila kita tidak jujur dalam memperoleh jabatan. Janganlah kita takut tidak punya popularitas, tapi takutlah apabila saat popularitas menghinggapi kita malah membohongi diri kita sendiri dengan membanggakan diri secara berlebih-lebihan seolah-olah kita sukses semata-mata karena kepandaian diri kita sendiri, padahal bukankah popularitas itu hanyalah titipan dari Allah semata.

Tiada orang yang tersiksa dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak jujur pada diri sendiri.
Hal yang berikutnya adalah janji. Setiap janji haruslah ditepati, karena sifatnya sama dengan utang. Barangsiapa yang berutang maka akan terus ditagih pembayarannya sampai yang memberi utang itu menghapus utang-utangnya. Begitu pula dengan janji, akan terus ditagih pelaksanaannya sampai yang diberi janji itu melupakan janji tersebut.

Demikianlah sahabatku, betapa kebohongan kecil yang dilakukan hanya akan menghasilkan kebohongan demi kebohongan. Karena kebohongan yang telah dilakukan tidak dapat ditutupi dengan kejujuran, kecuali dengan mengaku bahwa dirinya telah berbohong.

Betapa menderitanya orang yang hidup dengan kebohongan. Pikirannya akan lelah karena harus terus mencari kebohongan-kebohongan berikut untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan sebelumnya. Maka, jadilah orang yang jujur, walaupun kita memiliki kesalahan. Sesungguhnya jujur itu adalah tanda bahwa kita bertanggung jawab dan jujur itu ternyata lebih disukai Allah dan sesama kita.*/H.M Komarudin Chalil, dari bukunya Beranda Bahagia-Menghimpun Energi Kata dan Cinta.

Disqus Shortname

sigma2

Comments system

[blogger][disqus][facebook]