METODE BERDALIL KHAWARIJ DALAM TIMBANGAN MANHAJ SALAF
Oleh
Ustadz Arif
Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Setiap orang
yang menyimpang dari Sunnah mesti berpijak pada landasan yang lemah selemah
jaring laba-laba, yang dengan pijakan tersebut dia menganggap dirinya di atas al-haq, padahal dia telah menyimpang dari jalan
yang lurus.
Di antara hal
yang menunjukkan penyimpangan mereka dari jalan yang lurus bahwa ahli bid’ah
memiliki metode-metode istidlâl(berdalil) yang menyimpang dari manhaj Ahli Sunnah wal Jamâ’ah.
Penyimpangan dalam metode istidlâl inilah yang menyebabkan mereka tergelincir ke
dalam jurang kesesatan.
Di antara
kelompok bid’ah kawakan[1]yang sejak zaman awal Islam berpijak pada metode istidlâl yang menyimpang adalah kelompok Khawârij yang telah disepakati oleh para
Shahabat. Khalifah ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengomentari
slogan mereka ‘Tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allâh’ dengan berkata, “Itu adalah kalimat
yang haq, namun dimaksudkan untuk kebatilan “ [Shahîh Muslim no.1774].
Metode istidlâl Khawârij ini ternyata masih diwarisi oleh kelompok-kelompok Khawârij
yang muncul pada generasi-generasi berikutnya hingga zaman ini, seperti pemikiran takfîr yang tidak berbeda antara para pendahulu Khawarij dengan Khawarij
kontemporer.
Mengingat
kelompok Khawârij ini selalu muncul hingga Hari Kiamat sebagaimana tertuang
dalam hadits shahîhdari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sudah seyogyanya Setiap
Muslim wajib membentengi dirinya dari syubhat-syubhat Khawarij ini agar selamat
dari jalan kebinasaaan mereka.
Dalam bahasan
manhaj kali ini, kami rangkumkan sisi-sisi penyimpangan metode istidlâlyang banyak
kami adaptasi dari kitab Taqrîrâtu
Aimmatid Da’wah fî Mukhâlafati Madzhabil Khawâriji wa Ibthâlihi yang ditulis oleh DR. Muhammad Hisyâm Thâhiri.
SIKAP KHAWARIJ TERHADAP AL-QUR`ÂN
Setiap sekte
Khawârij mengklaim memiliki sumber-sumber pengambilan dalil yang berdasarkan syariat dan
beristidlal dengannya. Akan tetapi, ternyata mereka berpecah-belah
menjadi banyak kelompok yang saling berselisih dan saling mengkafirkan satu
dengan yang lainnya. Mereka berpecah-belah menjadi kelompok-kelompok. Setiap kelompok menyelisihi kelompok yang
lain dalam perkara dasar dan aqidah.
Banyak sekali
sekte dalam Khawarijdan semuanya menisbahkan diri kepada Islam dan mengakui
Al-Qur’ân. Nash-nash Al-Qur`ân yang mereka pandang mendukung mereka, akan
mereka pegangi. Dan nash-nash yang menurut mereka tidak sejalan dengan pemahaman mereka, maka mereka
berusaha melarikan diri darinya dengan takwil yang tidak bertentangan dengan
dasar dan ajaran mereka.
Maka, jadilah mereka tidak melihat Al-Qur’ân kecuali dari sela-sela
pemikiran-pemikiran
dan keyakinan-keyakinan mereka, dan mereka tidak memahami satupun dari makna-maknanya kecuali dengan
kacamata cara pandang mereka dan di bawah pengaruh kendali madzhab mereka
“ [Al-Ittijâhât Al-Munharifah Fi Tafsîril Qur’ânil Karîm oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi hal.
68-69].
Bahkan Jama’ah
Takfir dan Hijrah – salah satu kelompok Khawarij zaman ini – menyatakan bahwa
Al-Qur’ân tidak membutuhkan kepada tafsir dan mereka mengatakan, “ Barangsiapa
meyakini bahwa Kalâmullâh dan Hadits Rasul-Nya n membutuhkan kepada syarah (penjelasan), maka dia
telah kafir ! karena dia meyakini bahwa perkataan manusia lebih jelas dan lebih
gamblang daripada perkataan Allâh Azza wa Jalla!?“. [Dirâsatun ‘anil Firaqi wa Tarîkhil Muslimîn hlm. 139].
Perkataan
mereka ini jelas
merupakan pengkafiran terhadap para ulama dan para imam Salaf yang
menjelaskan Al-Qur`ân kepada manusia.
Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata, “ Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
‘Mereka mengucapkan dari
perkataan sebaik-baik manusia ‘ yaitu dari Al-Qur`ân , sebagaimana
tertuang dalam hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu yang sebelumnya ‘Mereka membaca Al-Qur`ân‘,. Dan ungkapan pertama yang membuat mereka khurûj (keluar dari jalan lurus) adalah perkataan mereka ‘Tidak ada hukum kecuali milik Allâh Azza wa
Jalla ‘. Mereka mengambil dari Al-Qur`ân dan mereka membawanyakepada yang bukan
tempatnya “ [Fathul Bâri VI/716].
Ringkasnya,
Khawârij mengakui Al-Qur`ân sebagai dasar hujjah sesuai dengan pemahaman mereka
pribadi, bukan dengan pemahaman
generasi yang diturunkan Al-Qur`ân kepada mereka, generasi Shahabat
Radhiyallahu anhum.
SIKAP KHAWARIJ TERHADAP SUNNAH
Khawarij banyak
menolak Sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka
anggap menyelisihi pemahaman-pemahaman mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
Khawarij Haruriyyah menyitir ittiba’ Al-Qur`ân dengan pemikiran-pemikiran
mereka, dan mereka tinggalkan Sunnah-sunnah yang mereka anggap menyelisihi
Al-Qur’an “ [Majmu’ Fatawa
28/491].
Beliau rahimahullah juga berkata, “Khawarij telah menyatakan bolehnya
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam curang dan sesat di dalam Sunnahnya dan mereka
tidak mewajibkan ketaatan dan ittiba’ kepadanya. Mereka hanyalah membenarkannya
dalam apa yang Beliau
sampaikan dari Al-Qur`ân, bukan apa yang beliau syariatkan dari Sunnah yang –
mereka anggap – menyelisihi zhahir Al-Qur`ân “ [Majmû’ FatâwâIXX/73].
Khawarij tidak memperdulikan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang memansukhkan sebagian
ayat Al-Qur`ân, atau yang mengkhususkan sebagian keumuman ayat Al-Qur`ân, atau
yang menambah hukum-hukumnya [Lihat At-Tafsîr wal MufassirûnII/312-313].
Di antara
aqidah Azariqah Khawarij, mereka menggugurkan hukuman rajam atas pezina karena
tidak disebutkan
dalam Al-Qur`ân! [Al-Milal wan Nihal hlm. 121].
Di antara sekte
dari Khawarij, mereka mengkafirkan umat … dan tidak berhujjah dengan Sunnah
sama sekali. [Lihat At-Tanbih war
Raddu ‘Ala Ahlil Ahwa’ wal Bida’ hal. 42].
Sikap mereka
yang menolak hadits-hadits
yang menurut mereka bertentangan dengan Al-Qur`ân telah dikabarkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jauh-jauh hari, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memperingatkan umatnya dari pengingkaran terhadap sunnahnya dalam
sabdanya:
لَا أُلْفِيَنَّ
أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ
أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ
اتَّبَعْنَاهُ
“Jangan sampai
aku mendapati seseorang diantara kalian bertelekan diatas ranjangnya,datang perkara yang aku
perintahkan atau yang aku larang, lalu ia berkata, ‘ Aku tidak tahu
,apa yang kami dapati dalam Kitabullah kami ikuti(dan yang tidak kami dapati
dalam Kitabullah tidak kami ikuti’”. [HR. oleh Tirmidzi dalam Jami’nyaV/36 dan dishahîhkan oleh Al-Albâni dalam Takhrij MisykatI/57].
KHAWARIJ MEMALSUKAN HADITS-HADITS
Di antara
kelompok Khawarij, ada yang memalsulkan hadits-hadits tentang celaan atas
‘Utsmân Radhiyallahu anhu dan ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk membela pemikiran mereka dan memasarkannya
di kalangan manusia. [Lihat Al-Ittijâhât
Al-Munharifah fil Qur’ânil Karîm hlm. 71].
Imam Ibnu Mahdi
rahimahullah menyatakan bahwa Khawârij memalsukan hadits yang berbunyi :
إِذَا أَتَاكُمُ الْحَدِيْثُ عَنِّيْ فَأَعْرِضُوْهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ, فَإِنْ وَافَقَ
كِتَابَ اللهِ فَأَنَا قُلْتُهُ
“Jika datang hadits kepada kalian dariku, maka paparkanlah pada
Kitâbullâh, jika sesuai dengan Kitâbullâh, maka berarti aku mengatakannya“[Muqaddimah kitab Al-Maudhû’ât oleh Ibnul
Jauzi rahimahullah].
SIKAP KHAWARIJ TERHADAP IJMA’ DAN QIYÂS
Khawarij
menolakberhujjahdenganIjma’. Al-Baghdâdi rahimahullah berkata, “ Mereka (Ahlu Sunnah) berkata, “Pokok-pokok
hukum-hukum syariata dalah Al-Qur`ân, Sunnah, dan Ijma’ Salaf. Mereka menganggap kafir orang
yang tidak mengakui bahwa Ijma’ para Shahaba tadalah hujjah, dan mereka
menganggap kafir golongan Khawarij yang menolak Ijma’ danSunnah.“ [al-FarquBainal
Firaq hlm.337].
Khawarij menolak Ijma’ para Shahabat hingga mereka membatalkan khilafah ‘Utsmân Radhiyallahu
anhu dan khilafah ‘Ali Radhiyallahu anhu. Bahkan orang-orang Khawarij
mengkafirkan orang yang mengikutiIjma’. [Lihat Dirâsâtun ‘anil
Firaqi wa Tarîkhil Muslimîn hlm. 143].
Adapun qiyâs, maka mereka adalah orang yang paling getol berpegang dengannya.
[al-Milal wan Nihalhlm. 116].
KEDUDUKAN AL-QUR’AN, SUNNAH, IJMA’, DAN QIYÂS DALAM ISLAM
Para Imam Ahli
Sunnah wal Jama’ah sudah menyatakan bahwa mashdartalaqqi (sumber-sumber pengambilan hukum) dalam Islam adalah[1] Kitâbullâh, [2] Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang keduanya dipahami dengan pemahaman Salafush
Shalih [3] Ijma’ yang sah, dan [4] Qiyâs yang shahîh.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang diikuti dalam penetapan
hukum-hukum Allâh
adalah Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya ndan jalan para pendahulu atau generasi
pertama, tidak boleh menetapkan hukum syar’i dengan tanpa tiga pokok ini, dalam
keadaan apapun baik secara nash atau istimbath
(penyimpulan).“ [Iqtidhâ’ Shirâthil MustaqîmII/207-208].
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata,“
Dalil-dalil yang disepakati ada tiga: Al-Qur`ân, Sunnah, Ijma’ Salaful Ummah
dan para imam mereka. Adapun qiyas yang shahîh, maka menurut sebagian Ulama adalah hujjah, jika
tidak bertentangan
dengan Al-Qur`ân dan Sunnah. Jika qiyâs tersebut menyelisihi nash atau zhahir, maka bukanlah hujjah. Dan inilah yang disepakati oleh para
Ulama terdahulu dan belakangan.“ [Majmû’atu Rasâil wal Masâil 2/2/27, Ad-Durar as-Saniyah 2/243 dan 8/182, Al-Mathlab Al-Hamîd hal. 221, dan Mishbâhu Azh-Zhalâm hal. 252]).
Syaikh Abdul
‘Azîz bin Bâz t berkata, “Para ulama Islam telah sepakat bahwa pokok-pokok
landasan (agama) yang disepakati ada tiga: Kitâbullâh, Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , Ijma’ para ulama.
Para Ulama
berbeda pendapat tentang pokok-pokok yang lainnya, yang terpenting dari
pokok-pokok yang lain tersebut adalah qiyâs, dan Jumhur berpendapat bahwa qiyâs
adalah dasar yang keempat jika terpenuhi syarat-syaratnya yang mu’tabar.
Adapun Sunnah,
maka tidak ada perselisihan bahwa Sunnah merupakan pokok yang tersendiri,
dan bahwa dia adalah pokok yang kedua dari pokok-pokok Islam dan bahwa wajib
atas seluruh kaum muslimin, bahkan wajib atas seluruh umat agar berpegang
dengannya, bersandar
atasnya, dan berhujjah dengannya, jika shahih sanadnya dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hal ini telah
ditunjukkan oleh ayat-ayat yang banyak dalam Kitâbullâh dan hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana seluruh para
Ulama telah sepakat untuk mengambilnya dan mengingkari orang yang berpaling
darinya atau yang menyelisihinya.
Dan telah
muncul satu golongan pada awal Islam yang mengingkariSunnah – dengan sebab
ketidakpercayaan mereka kepada para Shahabat g , seperti Khawarij; karena
sesungguhnya Khawarij mengkafirkan banyak dari para Shhabat dan menilai mereka
telah berbuat fasik. Maka, golongan Khawarij tidak bersandar kecuali hanya
kepada Kitâbullâh,
karena buruknya persangkaan mereka terhadap para Shahabat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.“ [Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ahVIII/132-133].
TAHRIF KHAWARIJ TERHADAP NASH-NASH
Tahrif
(penyelewengan) Khawarij terhadap nash-nash sudah menjadi karakteristik mereka
dari masa ke masa. Mereka memelintir nash-nash agar sesuai dengan
pemikiran-pemikiran mereka yang rusak.
Al-Imam
al-Bukhâri rahimahullah berkata:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ الله عَزَّ وَجَلَّ،
وَقَالَ: إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا
إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
‘Abdullâh bin
‘Umar Radhiyallahu anhu memandang Khawarij sebagai sejelek-jelek makhluk
Allâh Azza wa Jalla dan dia mengatakan, ‘Mereka beranjak menuju ayat-ayat
tentang orang-orang
kafir, lalu menerapkan pada orang-orang yang beriman “ [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari di dalam Shahihnya 6/2539 secara mu’allaq dan dikatakan
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul BâriXII/298, “ Diriwayatkan secara maushuloleh
Ath-Thabari rahimahullah
dalam Musnad Ali … dan sanadnya shahîh “. Atsar ini juga diriwayatkan secara maushul
oleh Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tamhid 23/335].
Sebagai contoh
firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [Al-Mâidah/5:44].
Mereka berkata,
“ Setiap pelaku dosa-dosa, sungguh telah berhukum dengan selain apa yang
diturunkan Allâh“. [ Bida’ut Tafâsîr hlm. 70 dan At-Tafsîr wal MufassirûII/305].
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan t berkata,
“ Sesungguhnya mengambil zhahir-zhahir nash-nash yang menyelisihi pokok-pokok
Sunnah dan manhaj para Shahabat, Tabi’in, dan Ulama umat merupakan pemikiran Khawarij“. [Irsyâd Thâlibil Huda hlm. 58].
Golongan
Khawarij hanya mengandalkan pemahaman-pemahaman mereka dalam memahami
nash-nash. Seandainya mereka mau menelaah tafsir-tafsir yang mu’tamad, yang diriwayatkan oleh para Shahabat yang agung dan para Ulama yang mulia, niscaya
akan tampak bagi mereka kebenaran.
KHAWARIJ MENOLAK KEHUJJAHAN PERKATAAN PARA SAHABAT
Muhammad bin
Yusuf Uthfaisy seorang tokoh Ibadhiyah Khawarij berkata tentang firman Allâh
Azza wa Jalla :
بَلَىٰ مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“(bukan demikian), yang benar: barangsiapa berbuat kejelekan dan ia
Telah diliputi oleh kesalahannya, mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya“.
[Al-Baqarah/2:81].
Kejelekan yaitu
perbuatan yang buruk, dan dia adalah dosa besar. Sama saja apakah berupa nifak
atau syirik, dan termasuk dosa-dosa-besar adalah melakukan dosa-dosa
terus-menerus. Jika kamu berkata, ‘Kaum kami telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas q bahwa yang
dimaksud kejelekan di dalam ayat ini adalah kesyirikan, demikian juga dikatakan
oleh Syaikh Hud bahwa maksudnya adalah kesyirikan’, maka aku katakan: Apa yang aku sebutkan lebih utama daripada yang
disebutkan keduanya (?!).“ [ Al-Ittijâhât Al-Munharifah fî
Tafsîril Qur`ânil Karîm hlm. 67].
Lihatlah
bagaimana dia mendahulukan pemahamannya atas pemahaman sahabat yang mulia
penafsir Al-Qur`ân yang didoakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
?! .
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz
rahimahullah berkata, “Dan telah muncul sebuah kelompok pada awal Islam yang
mengingkari Sunnah – dengan sebab ketidakpercayaan mereka kepada para Shahabat
Radhiyallahu anhum, seperti Khawarij. Karena sesungguhnya Khawarij mengkafirkan banyak Shahabat dan
memfasiqkan mereka. Maka jadilah Khawarij tidak bersandar kecuali kepada
Kitâbullâh, karena buruknya persangkaan mereka terhadap para Shahabat
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ahVIII/132-133].
Adapun para
Ulama Sunnah dari masa ke masa mereka meyakini kehujjahan para Shahabat sesuai
dengan nash-nash dari Al-Qur`ân dan Sunnah yang menunjukkan atas kehujjahan
perkataan mereka.
Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ
ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar. “ [At-Taubah/9:100].
Al-Hafizh
Al-‘Alâ`i rahimahullah berkata, “Orang yang diridhai oleh Allâh, mengapa
tidak diteladani perbuatannya dan diikuti ucapannya? ” [Ijmâlul Ishâbah hlm. 57].
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka,
kemudian generasi sesudah mereka”. [Muttafaq
Alaih].
Al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, ” Dan yang demikian itu mengharuskan
didahulukannya mereka (Shahabat Nabi) dalam setiap bab dari bab-bab kebaikan.
Dan jika seandainya mereka hanya baik dari sebagian segi saja,
maka mereka bukanlah
sebaik-baik generasi secara mutlak”. [I’lâmul Muwaqqi’înIV/136].
Al-Imam
Al-Auzâ’i rahimahullah berkata, “Sabarkan (tetapkan) dirimu diatas Sunnah,
berhentilah dimana kaum (para Shahabat) berhenti, katakanlah apa yang mereka
katakan dan diamlah terhadap
yang telah mereka diamkan serta berjalanlah di jalan As-Salaf Ash-Shalih,
karena mereka mencukupkan kamu apa yang telah mencukupkan mereka ” [Dzammul Kalâm wa Ahlihi V/117-118]).
KHAWARIJ MENGIKUTI NASH-NASH YANG MUTASYABIH
Di antara ciri
Khawarij, mereka
menyeleweng dari prinsip-prinsip agama yang muhkam (jelas) dan
mengikuti mutasyabihat(perkara-perkara yang samar). Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ
أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
”Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`ân) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur`ân
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât.Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allâh. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,
‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât. Semuanya itu dari sisi Rabbn
kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal. “ [Ali
‘Imrân/3:7].
‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat maka merekalah yang disebut oleh Allâh.
Maka berhati-hatilah dari mereka“ [Muttafaq Alaih].
Nash-nash
terbagi menjadi dua: ada yang muhkam dan ada yang mutasyâbih. Muhkam artinya yang jelas dan gamblang dalâlahnya. Sedangkan mutasyâbih adalah yang tidak bisa memahaminya kecuali
orang-orang yang mendalam ilmunya. Ayat mutasyâbih dibawa kepada
yang muhkam dan dikembalikan kepada yang muhkam. Barangsiapa yang berdalil dengan mutsayâbih dan meninggalkan yang muhkam, atau tidak mengembalikan yang mutasyâbih kepada yang muhkam, maka merekalah yang disebut oleh Allâh,
berhati-hatilah dari mereka.
Al-Imam Al-Âjurri rahimahullah
berkata, “ Di antara ayat mutasyâbihât yang diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij ) adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allâh ,maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ” [Al-Mâidah/5:44].
Al-Imam Abu
Hayyân rahimahullah berkata, “Orang-orang khawarij berargumen
dengan ayat ini untuk menetapkan bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allâh, maka dia telah
kafir, dan mereka berkata,‘Itu adalah nash yang berlaku pada setiap orang yang
berhukum dengan selain yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla , maka dia kafir ‘
“. [Bahrul MuhîthIII/493].
Sebagian dari
mereka juga berkata, “ Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak
memutuskan hukum dengan hukum Allâh. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi
sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum “ [Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz hlm. 212 dan
216].
Padahal jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah
mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak berbuat adil di dalamnya,
termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia
bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena tatkala dia bermaksiat kepada
Allâh, maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allâh ,
lantaran lafazhman adalah umum meliputi setiap yang berakal, lafazhmâ(juga) umum meliputi setiap yang tidak berakal. Orang yang tidak berlaku
adil terhadap dirinya sendiri dan anak-anaknya masuk dalam keumuman man, dan setiap kasus yang dia tidak berlaku adil masuk dalam keumuman ma.
Padahal banyak
sekali dalil yang menunjukkan bahwa sekedar berbuat maksiat tidaklah menjadikan
pelakunya kafir seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya!“ (Al-Hujurât/49:9). Lihatlah Allâh menyebut mereka beriman dalam keadaan mereka melakukan maksiat yaitu memerangi sesama
muslim!.
Nash-nash yang
menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku maksiat memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghar, sehingga para ulama sepakat tidak
mengambil keumuman ayat ini. Berbeda dengan orang-orang
khawarij yang memakai keumuman ayat ini dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan maksiat, tanpa melihat
kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.
PENUTUP
Inilah yang
bisa kami paparkan di dalam bahasan ini yang kesimpulannya bahwa Khawarij
memiliki metode-metode istidlal yang menyimpang. Dan berdasarkanmetode-metode istidlâl yang menyimpangitulah, mereka menjadi golongan yang menyeleweng dari
jalan yang lurus.
Barangsiapa
yang tidak ingin terperosok ke dalam penyimpangan-penyimpangan mereka,
hendaknya meninggalkan metode-metode istidlâl mereka dan kembali kepada manhaj Salafush Shalih
dalam beristidlâl.
Akhirnya, kita
memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menunjukkan kita semua ke
jalan-Nya yang lurus dan menjauhkan kita semua dari jalan-jalan kesesatan.
Amin.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi
08122589079]
_______
Footnote
_______
Footnote
No comments:
Post a Comment