SESUNGGUHNYA
AGAMA ITU MUDAH
Oleh
Ummu Malik
Ummu Malik
Kerap kali
manusia mengulang-ulang
perkataan ini (yaitu ucapan “Sesungguhnya agama itu mudah”), akan tetapi
(sebenarnya) mereka (tidak menginginkan) dengan ucapan itu, untuk tujuan memuji
Islam, atau melunakkan hati (orang yang belum mengerti Islam) dan semisalnya.
Yang diinginkan mereka
adalah pembenaran terhadap perbuatan mereka yang menyelisihi syari’at. Bagi
mereka kalimat itu adalah kalimat haq, namun yang diinginkan dengannya adalah
sebuah kebatilan.
Islam Itu Mudah (dari @gambarhadits) |
Ketika salah
seorang diantara kita ingin memperbaiki perbuatan yang menyalahi syari’at, orang-orang yang
menyalahi (syari’at itu) berhujjah dengan perkataan mereka : “Islam adalah
agama yang mudah”. Mereka berusaha mengambil keringanan yang sesuai dengan hawa
nafsu mereka, dengan sangkaan bahwa mereka telah menegakkan hujjah bagi orang yang menasehati mereka
agar mengikuti syariat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Orang-orang
yang menyelisihi syariat itu hendaknya mengetahui bahwa Islam adalah agama yang
mudah. (Akan tetapi maknanya adalah) dengan mengikuti keringanan-keringanan yang diberikan Allah
Jalla Jalaluhu dan RasulNya kepada kita.
Allah Jalla
Jalaluhu dan RasulNya telah memberi keringanan bagi kita, ketika kita
membutuhkan keringanan itu dan ketika adanya kesulitan dalam mengikuti
(melaksanakan perintah) yang sebenarnya.
Asal dari
ungkapan ” Sesungguhnya agama itu mudah” adalah penggalan kalimat dari hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ،
وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya
agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan
akan dikalahkan, dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak melebihi dan tidak
mengurangi), bergembiralah kalian, serta mohonlah pertolongan (didalam ketaatan
kepada Allah) dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat”.
Al-Hafidz Ibnu
Hajar Al-Asqalani menerangkan
ungkapan “Sesungguhnya agama itu mudah” dalam kitabnya yang tiada banding (yang
bernama) :
فَتْحُ
الْبَارِي بِشَرْحِ صَحِيْحِ الْبُخَارِي
Fathul Baariy
Syarh Shahih Al-Bukhari 1/116.
Beliau berkata
: “Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai
ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah
Jalla Jalaluhu mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada
umat-umat sebelumnya.
Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat),
taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan
taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam
(berkemauan kuat)
untuk tidak mengulangi.
Kalau kita
melihat hadits ini secara teliti, dan melihat kalimat sesudah ungkapan “agama
itu mudah”, kita dapati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
petunjuk kepada kita bahwa seorang muslim berkewajiban untuk tidak berlebih-lebihan dalam
perkara ibadahnya, sehingga (karena berlebih-lebihan) ia akan melampui batas
dalam agama, dengan membuat perkara bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama.
Sebagaimana
keadaan tiga orang yang ingin membuat perkara baru (dalam agama). Salah seorang di antara
mereka berkata : “Saya tidak akan menikahi perempuan”, yang lain berkata :
“Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka”, yang ketiga berkata :
“Saya akan shalat malam semalam suntuk”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka
dari hal itu semua, dan memberi pengarahan kepada mereka agar membaguskan amal
mereka semampunya, dan hendaknya dalam mendekatkan diri kepada Allah Jalla
Jalaluhu, (beribadah) dengan ibadah yang telah diwajibkan Allah Jalla Jalaluhu kepada mereka.
Dan hendaknya
mereka tidak membuat-buat perkara yang tidak ada asalnya dalam agama ini,
karena mereka sekali-kali tidak akan mampu (mengamalkannya), (sebagaimana
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ” Maka sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama
melainkan akan dikalahkan”.
Maka ungkapan
“Agama itu mudah” maknanya adalah : “Bahwa agama yang Allah Jalla Jalaluhu
turunkan ini semuanya mudah dalam hukum-hukum, syariat-syariatnya”. Dan
kalaulah perkara (agama) diserahkan kepada manusia untuk membuatnya, niscaya seorangpun tidak
akan mampu beribadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.
Maka jika
orang-orang yang menyelisihi syariat tidak mendapatkan “kekhususan” (tidak
mendapat celah sebagai pembenaran atas perbuatan mereka) dengan hadits diatas, mereka akan
lari kepada hadits-hadits lain, yang dengannya mereka berhujjah bagi perbuatan
mereka yang menggampang-gampangkan dalam perkara agama.
Diantara
hadits-hadits yang mereka jadikan alasan dalam masalah ini, adalah sabda
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
إنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
“Sesungguhnya
Allah menyukai keringanan-keringanannya diambil sebagaimana Dia membenci
kemaksiatannya didatangi/dikerjakan”
Dalam riwayat
lain.
كَمَايُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى
عَزَائِمُهُ
“Sebagaimana
Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi”
Hadits lain
adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
يَسِّرَا وَلَا
تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا
“Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan
membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam
melaksanakan tugas) dan jangan berselisih” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Hadits yang
ketiga.
يَسِّرُوا وَلَا
تُعَسِّرُوا وَبَشِرُوا وَلَا تُنَفِّرُو
“Mudahkanlah, janganlah
mempersulit, dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membikin manusia lari
(dari kebenaran)”.
Adapun hadits
yang pertama, wajib bagi kita untuk mengetahui bahwa keringanan-keringanan
dalam agama Islam banyak sekali, diantaranya : berbukanya musafir ketika bepergian, orang yang
tertinggal dalam shalat boleh mengqadha (mengganti), orang yang tertidur atau
lupa boleh mengqadha shalat, orang yang tidak mendapatkan binatang sembelihan
dalam haji tamattu boleh berpuasa, tayamum sebagai ganti wudhu ketika tidak ada air atau ketika tidak
mampu untuk berwudhu … dan lainnya diantara keringanan yang banyak tidak
diamalkan kecuali jika terdapat kesulitan dalam melaksanakan perintah yang
sebenarnya.
Dan perlu kita
perhatikan, bahwa keringanan-keringanan ini adalah syari’at Allah Jalla Jalaluhu dan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan izin Allah Jalla Jalaluhu). Dan tidak
diperbolehkan seorang muslim manapun, untuk mendatangkan (mengada-ada)
keringanan (dalam masalah agama) tanpa dalil, karena hal ini adalah termasuk mengadakan perkara
baru dalam agama yang tidak berdasar.
Dan
perhatikanlah wahai saudaraku sesama muslim (surat Al-Baqarah ayat 185), yang
menceritakan tentang puasa dan keringanan berbuka bagi orang yang sakit atau
bepergian, lalu
firman Allah Jalla Jalaluhu sesudah ayat itu.
يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
Makna ini
menerangkan makna mudah (menurut Allah Jalla Jalaluhu), yang maknanya adalah keringanan itu
datangnya dari sisi Allah saja, tiada sekutu bagiNya. Atau (keringanan itu)
dari syariat Rasulullah Shallallahju ‘alaihi wa sallam dengan wahyu dari Allah
Jalla Jalaluhu. Ayat ini juga menerangkan bahwa makna mudah itu dengan mengikuti hukum Allah Jalla
Jalaluhu (yang tiada sekutu bagiNya) dan mengikuti syariatNya. Inilah yang
bekenaan dengan hadits yang pertama tadi.
Adapun hadits
yang kedua dan tiga, maka pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengikuti hawa
nafsu serta menyelisihi syariat (dengan kedua hadits itu) adalah batil, dan
termasuk merubah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makna yang
sebenarnya, dan keluar dari makna yang dimaksud.
Tafsir kedua
hadits yang lalu berhubungan dengan para da’i yang menyeru kepada agama Islam. Dalam kedua hadits itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memantapkan kaidah penting dari
kaidah-kaidah dasar dakwah kepada Allah Jalla Jalaluhu, yaitu berdakwah dengan
lemah lembut dan tidak kasar. Maka dakwah para dai yang sepatutnya disampaikan pertama kali kepada
orang-orang kafir adalah Syahadat, lalu Shalat, Puasa , Zakat. Kemudian
(hendaknya) mereka menjelaskan kepada manusia tentang sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menerangkan amal perbuatan yang wajib, yang sunnah dan yang
makruh. Jika melihat suatu kesalahan yang disebabkan karena kebodohan atau
lupa, maka hendaklah bersabar dan mendakwahi manusia dengan penuh kasih sayang
dan kelembutan serta tidak kasar. Allah Jalla Jalaluhu berfirman.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu” [Ali Imran/3 : 159]
Sesudah
memahami hadits-hadits itu, dan penjelasan makna keringanan dan kemudahan. Maka
saya berkata kepada orang-orang yang merubah dan mengganti makna-makna
hadits-hadits tersebut
(karena ingin mengenyangkan hawa nafsu mereka dengan perbuatan itu) :
“Bertaqwalah
kepada Allah Jalla Jalaluhu dan ikutilah apa yang diperintahkan kepada kalian,
dan jauhilah laranganNya, dan tahanlah (diri kalian) dari merubah sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan takutilah suatu hari yang kalian
dikembalikan kepada Allah Jalla Jalaluhu lalu setiap jiwa akan disempurnakan
dengan apa yang ia usahakan. Dan takutlah kalian jangan sampai diharamkan dari mendatangi
telaga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran kalian mengganti agama Allah
Jalla Jalaluhu dan merubah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Saya
mengharapkan dari Allah Jalla Jalaluhu yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri agar memberi
petunjuk kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya untuk mengikuti Al-Qur’an dan
Sunnah NabiNya, dan agar Allah Jalla Jalaluhu mengajarkan kepada kita ilmu yang
bermanfaat, dan memberi manfaat dari apa yang Dia ajarkan, serta memelihara kita dari kejahatan
perbuatan bid’ah dan penyelewengan, serta kejahatan mengubah dan mengganti
(syariat Allah).
[Disalin dari
Majalah : Al Ashalah edisi 15-16 hal 33-35, diterjemahkan oleh Majalah
Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. I/No. 03/Dzulhijjah 1423/Februari 2003, hal 5 -6.Terbitan Ma’had
Ali Al-Irsyad Surabaya]
No comments:
Post a Comment