Jangan Lelahkan Hidupmu Untuk Dunia
MANUSIA satu sisi adalah makhluk
yang sempurna karena kemampuannya berpikir yang digunakan untuk istiqomah di
jalan yang lurus.
Namun, satu sisi, manusia
adalah makhluk yang paling susah bahagia, karena besarnya angan-angan dunia, yang membuat
hidupnya sibuk hingga lupa menjalankan tugas-tugas penting sebagai hamba Allah
dan Khalifah Allah.Tidak
sedikit orang yang karena pekerjaannya, mendapatkan income besar setiap
bulannya, tapi sholat menjadi tidak sempat, mendidik anak apalagi.
Ada banyak orang yang bisa
wisata ke berbagai penjuru bumi, namun menyantuni anak yatim tidak pernah,
peduli terhadap Muslim yang teraniaya apalagi.
Dan, dibalik itu semua,
ternyata mereka adalah orang yang hidup dalam ketidaktenangan, ketidakbahagiaan, dan karena itu,
semakin hari hidup mereka dikendalikan oleh obsesi demi obsesi tentang materi.
Dr. Muslih Muhammad dalam
bukunya Emotional Intelligence of
Al-Qur’an mengisahkan
kehidupan keluarga di Kairo Mesir.
Dia adalah seorang pria berusia 35
tahun dengan dua anak yang masih kecil. Ia dan istrinya sama-sama sebagai
pegawai pemerintah. Keduanya memulai rumah tangga dengan keuangan yang
pas-pasan.
Meski demikian, kehidupan
mereka terus berjalan dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan mereka hanya ditopang oleh pengaturan
belanja dari penghasilan tetap dari pekerjaan mereka berdua. Namun kemudian ada
hasrat mendesak untuk memiliki berbagai perkakas rumah tangga modern dan kasur
yang lebih baik.
Akhirnya, keduanya tergelinir pada hutan untuk keperluan berbagai barang yang harus
mereka beli, hingga mereka berdua mengalami kehidupan yang sangat sempit.
Karena keduanya masih menjaga imannya, korupsi bukan jadi pilihannya.
Mereka memilih bekerja paruh waktu. Alhasil terpenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, termasuk untuk mencicil hutang.
Akan tetapi, betapa banyak kebahagiaan yang terenggut dari kehidupan
rumah tangganya. Mereka berdua terjebak rutinitas yang luar biasa sibuk untuk
mendapatkan gaji pokok dan gaji tambahan.
Hidupnya
menjadi sibuk hanya untuk mewujudkan kesuksesan dan keuntungan bagi pemilik
perusahaan, serta untuk membenahi berbagai problematika sosialnya yang tidak
ada habisnya. Semua itu banyak menita waktu istirahat pekanannya. Ia juga
merasa asing terhadap kedua anaknya, karena ia selalu pulang malam. Ketika itu mereka berdua
langsung tertidur lelap.
Bahkan, ia dan isterinya merasa seolah-olah terpisah dari masyarakatnya.
Mereka tidak pernah mengunjungi seorang pun, yang akibatnya tak seorang pun
mengunjungi mereka.
Karena mereka berangkat Shubuh, pulang larut malam.
Mereka menghabiskan siang untuk bekerja keras, lalau malam menyantap
makanan-makanan hambar di berbagai restoran, belum lagi dengan kesusahan dan
kesedihan yang menipa mereka akibat tingkah laku pemilik perusahaan dan tipu dayanya.
Sampai muncul pertanyaan di dalam hatinya.
“Jika aku berhenti dari kerja sambilan ini, apakah aku akan mati
kelaparan? Tidak akan!”
Karena belum pernah terjadi kami mengalami bahaya kelaparan, meski dalam
kondisi kesulitan materi.
“Lalu apakah rumah kami akan kehilangan sesuatu yang dapat membuat kami
tidak dapat melangsungkan kehidupan normal? Tidak akan!”
“Karena semua faktor kehidupan normal telah terpenuhi oleh penghasilan
yang kami dapatkan. Meskipun sebagian perabot sudah kuno, tapi kami sudah terbiasa. Bahkan kami
siap untuk memulai hidup lebih prihatin dari kehidupan normal yang telah kami
jalani.”
Bukan Soal Gengsi
Jika demikian apa yang harus ditakutkan, dan untuk apa harus takut, tidak
ada sama sekali yang perlu ditakutkan. Ya harus dilakukan adalah berhenti dari berlomba menumpuk
kekayaan, mengutamakan penampilan dan gengsi-gengsi dalam kehidupan sosial.
Padahal sejatinya hidup bukanlah soal gengsi, tetapi kemanfaatan diri
bagi agama, manusia dan kehidupan.
Anas bin Malik
radhiyallahu anhu bercerita, pada suatu hari Rasulullah keluar dan memegang
tangan Abu Dzar.
Beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, di hadapanmu ada jalan mendaki yang
sukar. Tidak ada yang mampu mendakinya, selain orang-orang yang ringan.”
Ia berkata, “Wahai
Rasulullah, aku termasuk orang yang ringan atau orang yang berat?”
Beliau menjawab dengan bertanya, “Apakah kamu punya makanan untuk hari
ini?
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau bertanya lagi, “Dan makanan untuk esok hari?”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau bertanya
lagi, “Dan makanan untuk esok lusa?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Beliau bersabda, “Jika kamu
punya makanan untuk tiga hari, maka kamu termasuk orang-orang yang berat.” (HR. Thabrani).
Kemudian lebih lanjut Dr Muslih Muhammad menulis, “Penulis yakin akan adanya berbagai masalah
yang akan kita temukan. Semua orang berambisi mendapatkan limpahan materi. yang
semua itu mengharuskannya untuk sibuk, yang mengakibatkan matinya hubungan
sosial, shalat yang terputus, nilai-nilai yang menurun, hilangnya keamanan, serta kasih sayang dan cinta
yang menguap dari kehidupan kita. Ditambah dengan berbagai racun yang melekat
pada jiwa, yaitu; dengki, cemburu, tamak, pembangkangan, dan ambisi terhadap
dunia dan tak menganggap akhirat.”
Pepatah Arab mengatakan, “Siapa yang berakal, niscaya ia akan ridha terhadap dunia yang hanya
secukupnya. Ia tidak sibuk mengumpulkannya. Namun ia sibuk mengerjakan
pekerjaan akhirat, karena akhirat adalah negeri yang pasti dan negeri
kenikmatan. Sedangkan dunia adalah negeri yang fana (akan hancur). Dunia adalah penipu
dan pembuat bencana.”
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shalllallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Akan menimpa umatku racun umat-umat
lain. Para sahabat bertanya, “Apa itu racun umat-umat lain?”
Rasulullah Shalllallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Bersenang-senang tanpa batas, sombong, memperbanyak harta, perlombaan di
dunia, saling menjauh, saling mendengki, hingga terjadi pembangkangan, kemudian
kekacauan.” (HR.
Thabrani).
Lantas apa yang mesti kita jalani agar hidup tak terhimpit dunia, dan itu adalah kunci
kebahagiaan hidup dunia-akhirat?
“Sungguh berbahagialah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan
orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang
yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” (QS. Al-Mukminun (23):24). Inilah jalan kebahagian
hakiki yang semestinya kita jalani, agar hidup tak “disiksa” dunia. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor:
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom
No comments:
Post a Comment