Muslim Itu Berbicara Baik Atau Diam
Hindari bicara
yang sia-sia, berujar yang provokatif dan gemar sekali memancing terjadinya
pertikaian
Gambar1.1 "Bicara Yang Baik Atau Diam" |
“Berkata benar akhlak yang mulia, sifat terpuji, semua orang suka.
Berbohong menipu, sifat yang tercela, di dunia lagi terima balasannya,” demikian bait nasyid
yang dinyanyikan oleh Umam yang berjudul “Berkata Benar.”
Seperti jamak dipahami, tak satu pun orang mau apalagi rela dibohongi.
Oleh karena itu, pantas dan tepat jika Islam memasukkan urusan bicara ini
sebagai bagian dari
ajaran yang setiap Muslim mesti memperhatikan dan mengamalkanya.
Namun demikian, sekalipun perintah ini terlihat sederhana dan semua orang
memahaminya, tidak menutup kemungkinan ada saja orang yang dalam kehidupannya
menjadikan kebohongan sebagai jalannya mengais rezeki.
Bahkan, karena potensi ini bisa menghantam siapa saja, awam sampai alim,
rakyat hingga pejabat, dan pekerja takat pengusaha, Umar bin Khaththab pun
mewanti-wanti umat Islam.
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah munafiq alim (yang
berpengetahuan).”
Kemudian ditanyakan, “Bagaimana mungkin munafik memiliki sifat alim?”
Umar menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan
kezaliman atau kemungkaran.”
Dengan demikian, penting bagi setiap Muslim berhati-hati dalam berbicara.
Jangan asal alias tanpa ilmu dan data, apalagi secara sengaja ingin
memutarbalikkan fakta, mempropagandakan kebohongan agar diterima sebagai
kebenaran, dan lain sebagainya.
Jika itu sampai dilakukan, maka akan berdampak serius bagi kesempurnaan iman di dalam
hati.
Sebab Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Bukhari).
Dr. Aid Abdullah Al-Qarny dalam bukunya “Beginilah Zaman Mengajari Kita” menuliskan, “Sebenarnya kita membutuhkan latihan yang panjang untuk
berbicara dengan orang lain, serta butuh pengalaman yang luas dalam
menyampaikan dan memberi pengaruh.”
Hal tersebut bisa dipahami, mengingat berbicara tanpa ilmu apalagi di
depan publik akan
semakin memelorotkan wibawa diri.
Tidak masalah jika itu dilakukan oleh orang kafir (orang yang menutup
diri dari beriman kepada Allah dan Rasul-Nya). Tetapi, bagaimana jika itu
adalah seorang Muslim.
Mohammad Fauzil Adhim melalui aku twitternya @kupinang mencuit, “Cara terbaik mempertontonkan
kebodohan adalah membantah tanpa ilmu. Tetapi yang lebih fatal lagi apabila
melecehkan tanpa data, unjuk kebolehan pada sisi yang ia paling lemah. Padahal
kekuatan terbesar orang yang dibantah justru di bagian itu.”
Dengan demikian, mulailah berlatih dengan penuh komitmen untu
bertanggungjawab dengan kata-kata atau pembicaraan yang kita lakukan, baik di
dunia nyata maupun dunia maya.
Sebab Islam merupakan sistem nilai, yang sudah semestinya
difungsionalisasikan dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Andai kata, setiap Muslim mampu menjaga lisannya, tidak berkata kecuali
yang baik, tentu negeri ini akan berada dalam kesejukan. Dan, setiap upaya
profokasi yang hendak memecah belah umat dan mendiskreditkan ajaran Islam, secara langsung bisa
digagalkan.
Gambar1.2 "Lidah Lebih Tajam Daripada Pedang" |
Suharsono dalam bukunya “Mencerdaskan Anak” menegaskan bahwa setiap orang tua sangat perlu mencermati, apa-apa saja
yang sering dikatakan oleh buah hati.
“Apakah kata-katanya cukup sopan, tidak jorok atau sekadar trendy. Anak-anak yang berpotensi
sebagai anak cerdas, tidak mudah dipengaruhi hal-hal semacam itu.”
Pertanyaannya bagaimana generasi Muslim bisa seperti itu bisa hadir,
tentu saja ketika para orang tua konsen memperhatikan pembicaraan yang setiap
orang melakukannya
dari waktu ke waktu sepanjang hayat.
Semoga Allah menjaga lisan kita dari berkata tidak baik, banyak bicara
yang sia-sia, berujar yang provokatif dan gemar sekali memancing terjadinya
pertikaian dan pertengkaran, apalagi sampai mengais rezeki dengan menjadi pembuat dan penyebar
kebohongan. Na’udzubillah min dzalik. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
No comments:
Post a Comment