Pemimpin Itu Ibarat Pasar ???
MEDIA massa kita dipadati berita-berita politik yang nyaris seragam. Seiring
dengannya, penjara-penjara kita juga dipenuhi narapidana yang ‘istimewa’.
Banyak mantan menteri, kepala daerah, perwira militer, penegak hukum, pejabat publik,
konglomerat, artis, dan anggota dewan yang sekarang justru mendekam di balik
jeruji besi. Konon, kini penjara tidak menyeramkan lagi, karena telah dijejali
oleh para priyayi dan orang-orang berpendidikan tinggi. Bagaimana bisa?
Ketika merenungkan
masalah ini, kami mendapati sepucuk surat yang pernah dikirimkan oleh ‘Abdullah
bin Zubair (Sahabat Nabi) kepada Wahb bin Kaisan (Tabi’in). Surat ini kemudian
dicatat oleh al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam karyanya, Hilyatul Awliya’. Dikatakan di dalamnya, sbb:
“Amma ba’du. Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu memiliki tanda-tanda yang bisa
dijadikan ciri untuk mengenali mereka, dan mereka pun bisa mengenalinya pada
diri mereka sendiri, yaitu bersabar menghadapi bencana, ridha kepada ketetapan Allah, mensyukuri nikmat,
dan tunduk kepada hukum al-Qur’an. Sungguh, pemimpin itu ibarat pasar. Apa saja
yang laris disana pasti akan didatangkan ke dalamnya. Jika kebenaran laris di
sisinya, maka kebenaran akan didatangkan kepadanya dan para pembelanya pun akan berdatangan. Jika
kebatilan yang laris di sisinya, maka para pembela kebatilan pun akan
berdatangan kepadanya dan laris di sekitarnya.”
Sungguh benar apa yang beliau katakan. Ini pulalah
nasihat para ulama berikutnya kepada para pemimpin, seperti Imam Abul Hasan al-Mawardi
dalam kitab Tas-hilun Nazhr wa
Ta’jiluzh Zhufr fi Akhlaqil Malik. Ketika membahas bagaimana cara meluruskan rakyat, beliau menasehati
penguasa untuk lebih dahulu meluruskan dirinya sendiri. Sebab, tidaklah mungkin
meluruskan bayangan
jika benda aslinya ternyata bengkok. Setelah mengulas berbagai akhlak buruk
yang mestinya dijauhi oleh seorang pemimpin, beliau berkata, “Penguasa adalah
orang yang jauh lebih utama untuk mewaspadai dan berhati-hati dari semua itu.
Sebab, ada sangat banyak
orang yang menginginkan dirinya, sebagaimana pasar yang didatangkan kepadanya
semua yang laris di dalamnya. Setiap orang yang menemuinya pasti ingin dekat
dengannya, entah melalui ucapan maupun tindakan; entah ingin mengejar
kedudukan, memanfaatkan peluang, atau berhati-hati agar tidak terkesan melawan. Jika saja akal
sehat tidak menghalangi mereka dan agama pun tidak menahan mereka, mereka pasti
merajalela dalam kemunafikannya, lalu berkhianat dan melakukan praktek-praktek
kotor.”
Maka, jika Anda seorang pemimpin dan kebingungan menyaksikan orang-orang di sekitar Anda,
segeralah berkaca. Sadarilah, bahwa Anda tidak ubahnya pasar. Komoditas apa pun
yang laku dan mudah didapatkan di sekitar Anda, pasti akan semakin ramai
berdatangan. Semakin besar kuasa dan pengaruh yang Anda miliki, semakin besar pula apa yang berdatangan
kepada Anda. Jika Anda seorang pemimpin yang jujur, maka para penipu akan
kehilangan pasar dan dagangannya tidak mungkin laku. Sebaliknya, jika Anda
adalah penipu, maka orang-orang jujur pasti kehilangan pelanggan dan segera menyingkir.
Adapun bagi rakyat biasa, kaidah ini bisa menjadi metode untuk mengenali
calon-calon pemimpin dan meneropong para pemimpin yang tengah menjabat.
Sebagaimana pasar ikan pasti dipenuhi oleh pedagang dan pembeli ikan, maka –
kemungkinan besar – pemimpin yang korup juga akan dikelilingi oleh para
koruptor, atau mereka yang menyukai korupsi. Secara psikologis, manusia
cenderung berteman dengan orang yang sealiran dan sepemikiran. Jika para
koruptor telah berkumpul,
mereka akan bahu-membahu untuk memuluskan agenda korupsinya, sehingga sangat
rapi dan sulit dibuktikan. Di dekat pemimpin semacam ini, hanya sedikit orang
jujur yang lolos dari jerat-jerat mautnya. Biasanya, kelompok kecil ini akan
menghadapi aneka tekanan
dan isolasi yang menyengsarakan.
Gambar 1.2 Pemimpin buruk karena rakyatnya buruk |
Dalam konteks lebih luas, kaidah ini juga bisa menjadi bahan muhasabah,
merenung dan mengintrospeksi diri. Pada hakikatnya, para pemimpin adalah bagian
dari masyarakat kita sendiri. Sebelum tampil berkuasa, mereka adalah orang-orang biasa
seperti kita. Mengapa mereka sangat cepat berubah? Samar-samar sebenarnya kita
juga patut menyangsikan diri kita sendiri. Bila saja posisi dan kesempatan yang
ada di tangan mereka diserahkan kepada kita, dapatkah kita selamat? Di titik ini, setiap orang
mestinya tunduk memohon perlindungan kepada Allah, bukannya mengangkat muka dan
menepuk dada.
Para ulama terdahulu berpandangan bahwa tampilnya pemimpin yang buruk
adalah hukuman Allah atas dosa dan kesalahan mereka. ‘Abdullah bin Bakr as-Sahmi (Atba’ Tabi’in,
w. 208 H) berkata, “Semoga Allah memperbaiki kita dan para pemimpin kita,
karena sesungguhnya kerusakan mereka adalah akibat dari dosa-dosa kita
sendiri.” (Riwayat al-Khatthabi dalam al-‘Uzlah no. 232).
Artinya, kelahiran pemimpin yang buruk sebenarnya mencerminkan kegagalan sebuah generasi dalam
mendidik anak-anaknya. Untuk menyikapinya, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar
memang tetap dijalankan semaksimal mungkin, tetapi mereka tidak menyarankan
pemberontakan. Solusinya adalah ishlah (reformasi) masyarakat secara utuh dan simultan.
Mereka pun tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi memperbaiki diri agar
kelak bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik. Bagaimana pun,
pemimpin hebat seperti Shalahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih hanyalah representasi sebuah generasi
yang terdidik dengan baik, sebab di belakang mereka telah berdiri ribuan
muslim-mujahid yang berbaris rapi di bawah satu komando. Mereka tidak berarti
apa-apa jika hanya sendirian. Kini, kita telah menyaksikan semua tingkah-polah para pemimpin kita. Belum
tibakah saatnya untuk meluruskan hidup dan memperbaiki diri? Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar
No comments:
Post a Comment