SUDAH SAATNYA
MENITI MANHAJ SALAF
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Sesungguhnya
Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memilihkan agama Islam bagi kita, meridhai dan
menyempurnakan serta melengkapinya. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah :3]
Allah Ta’ala
telah menjelaskannya secara gamblang dan menguraikannya dengan keterangan
sangat rinci. Allah
menerangkan melalui utusan dan bayan (penjelasan) Nabi kita Muhammad. Allah
berfirman :
“Dan Kami turunkan kepadamu
adz-Dzikr (al Qur’an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka.”[An-Nahl : 44]
Di antara penjelasan yang beliau
sampaikan, yaitu mengenai wajah Islam yang shahih (asli) yang masih utuh, dalam
situasi perpecahan umat dan silang pendapat yang menerpa mereka, seperti yang
dialami umat sebelumnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bangsa Yahudi telah terpecah-belah
menjadi 71 golongan. Dan umat Nashara telah tercerai-berai menjadi 72 golongan.
Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya berada di neraka,
kecuali satu (golongan),” kemudian ada yang bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah,” beliau
menjawab: “(Yaitu golongan) yang berada di atas jalanku sekarang ini dan para
sahabatku”.[1]
Agama Islam
saat permulaan penyebarannya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan hingga kedatangan masa para khulafaur-rasyidin adalah Islam yang satu; Islam (berdasarkan)
al Kitab dan as-Sunnah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya, muncullah golongan-golongan, aliran-aliran pemikiran dan
kelompok-kelompok. Masing-masing menggagas metode tersendiri untuk memahami agama. Silang
pendapat ini kebanyakan bersifat ikhtilaf tadhadd (kontradiktif).
Golongan-golongan
yang banyak dan bermacam-macam ini, masing-masing mengklaim diri berada di atas
Islam yang shahih, berada di atas kebenaran; sekalipun mereka adalah ahli bid’ah, saat
melangsungkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bid’ah-bid’ah
(ibadah ciptaan mereka), (dan) mereka menyangka sedang menjalankan sebuah
kebajikan. Atas dasar ini, bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat. Pasalnya, orang
yang bermaksiat tidak berpikir sedang beribadah dengan kemaksiatan-kemaksiatan
yang dilakukannya. Sedangkan ahli bid’ah, maka setan menghias amalan bid’ah
pada pandangan ahli bid’ah, sehingga ia memandangnya sebagai kebaikan. Karena itu, Sufyan ats-Tsauri
rahimahullah berkata:
“Bid’ah lebih
disukai oleh iblis ketimbang maksiat-maksiat. Karena maksiat masih disesali
dengan taubat. Sedangkan bid’ah tidak disesali dengan bertaubat” [2]
Dari sini,
mungkin ada yang bertanya atau diam sejenak untuk melontarkan pertanyaan: “Atas dasar
pemahaman apa, Islam yang shahih itu dibangun? Apakah merujuk pemahaman kaum
Khawarij, pemahaman golongan Mu’tazilah, kerangka berpikir kelompok Murji`ah?
Ataukah berdasarkan pemahaman golongan-golongan yang termuat di dalam kitab-kitab tentang firoq
(golongan-golongan yang sesat)?
Oleh sebab itu,
perlu disampaikan penjelasan mengenai Islam yang shahih sebagaimana telah
disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai oleh-Nya bagi kita,
serta yang sudah
disampaikan penjelasannya oleh Rasulullah dan memerintahkan kita untuk
konsisten di atasnya pada masa munculnya ikhtilaf (perbedaan) dan perpecahan.
Saya ingin
mengetengahkan satu masalah penting, yakni, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyebutkan
para sahabat di masa terjadinya perpecahan umat dalam dua kesempatan (dua
hadits), dan (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ) memerintahkan untuk
memegangi manhaj para sahabat beliau.
Hadits Pertama.
Hadits al ‘Irbadh bin Sariyah :
“Sesungguhnya
orang yang hidup
(panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang banyak. Maka,
kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
sepeninggalku. Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . .” [3]
Di sini, beliau
memberitahukan adanya
ikhtilaf (perbedaan pandangan), dan disertai penyebutan jalan keluar dari
perpecahan itu. Yaitu, (memegangi) Sunnah Rasulullah
sebagaimana telah diamalkan oleh para sahabat
beliau. Yang dimaksud khulafaur-rasyidin (para pengganti yang mendapatkan petunjuk), yaitu para
sahabat Nabi. Makna yang dinginkan di sini (dalam hadits di atas, Red.), adalah
iradatu fahmin (pengalihan wewenang pemahaman), bukan iradatu hukmin
(pengalihan wewenang kekuasaan). Setiap sahabat Nabi merupakan penerus Nabi
dalam aspek
pemahaman, manhaj dan agamanya.
Hadits Kedua :
Hadits ‘Amr bin al ‘Ash yang diriwayatkan at-Tirmidzi dengan isnad yang hasan.
Umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Kata
beliau: “(Yaitu golongan yang berpegang teguh dengan jalan yang) aku dan para sahabatku berada di atasnya
sekarang ini”.
Tatkala
menyebutkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan manhaj (metode) yang masih eksis berada di atas
jalan dan Sunnah
beliau. Yakni, jalan yang telah dipegangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat. Dengan ini, maka memahami Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah yang berlandaskan pemahaman para sahabat, itulah agama Islam yang
diridhai.
Allah berfirman : “Dan Kuridhai Islam
menjadi agama kalian”. Maksudnya, yaitu agama yang dijalankan oleh Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Muhammad radhiallahu’anhum
ajma’in. Dan lagi, tugas para sahabat di tengah umat ini ibarat tugas Nabi Muhammad di hadapan para
sahabat. Tanggung jawab Nabi di tengah umat ini dan di hadapan para sahabat
ialah menjadi saksi atas mereka. Dan keberadaan sahabat di hadapan umat menjadi
saksi atas umat ini.
Allah Ta’ala
berfirman :
“Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu” [Al-Baqarah :143]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah saksi atas umat ini. Setelah beliau wafat,
tinggallah sahabat Rasulullah menjadi saksi atas umat. Karena itu, terdapat
riwayat dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Musa al Asy’ari, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bintang-bintang
merupakan amanah bagi langit. Apabila bintang-bintang lenyap, maka tibalah perkara yang sudah
ditetapkan bagi langit. Dan aku penjaga amanah di tengah sahabatku. Bila aku
telah pergi, maka datanglah kepada para sahabatku apa yang dijanjikan kepada
mereka. Dan sahabatku penjaga amanah di tengah umatku. Apabila para sahabatku telah pergi,
maka datanglah kepada umatku perkara yang dijanjikan kepada mereka” [4]
Maknanya, bila
bintang-bintang itu telah pergi, tidak kembali lagi. Dan bila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi, maka datanglah pada para sahabat masalah yang telah
dikabarkan kepada mereka. Dan jika para sahabat telah pergi, maka muncullah
kejadian yang sudah dijanjikan kepada umatku.
Melalui
pemaparan hadits-hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Islam yang benar
ialah yang berlandaskan pada jalan Rasulullah dan para sahabat Rasulullah
radhiallahu’anhum ajma’in .
Masalah yang
sudah kami kemukakan dan manhaj yang telah kami menepatinya ini, didukung oleh
al Qur`an dan dikuatkan oleh as-Sunnah, para sahabat dan generasi Tabi’in, serta para ulama umat Islam.
Satu per satu hendak saya sampaikan bukti-buktinya:
Sebagian Dalil
Dari Al Qur`an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang muslim untuk mengikuti al Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang muslim untuk mengikuti al Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruknya tempat kembali” [An Nisa : 115]
Sabilul-mukminin
adalah jalan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Jamrah: Para ulama berkata, bahwa sabilul-mukminin adalah jalan para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah . . “[At-Taubah :100]
(Dalam ayat
ini), Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua thabaqat (tingkatan) manusia.
Tingkatan Pertama : Yaitu orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan Kedua : Yaitu tingkatan orang-orang yang mengikuti mereka, mengikuti Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan Pertama : Yaitu orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan Kedua : Yaitu tingkatan orang-orang yang mengikuti mereka, mengikuti Muhajirin dan Anshar.
Tingkatan
Muhajirin dan Anshar adalah para sahabat Rasulullah. Karena yang dimaksud dengan “dahulu” di sini
adalah generasinya. Sehingga setiap sahabat, (mereka) mendahului para generasi
Tabi’in.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menyanjung para generasi Sabiqunal-Awwalun dan orang-orang yang
mengikuti mereka. Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang mengikuti
Sabiqunal-Awwalun? Karena mereka mengikuti jalan kaum Muhajirin dan Anshar.
Dalam ayat ini
tersirat sebuah pelajaran manhaj, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menyebutkan mengenai ittiba’ur-Rasul (mengikuti Rasulullah). Tujuannya, untuk
menjelaskan kepada kita semua, bahwa ittiba’ur-Rasul tidak akan terwujud,
kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dan talaqqi. Yakni
para sahabat radhiallahu’anhum ajma’in . Maka, seorang muslim belum menempuh
jalan ittiba’ur-Rasullah
sebelum memahami manhaj beliau berdasarkan pemahaman para sahabat Rasulullah.
Sebagian Dalil Dari Hadits.
Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mengikuti al Kitab dan as-Sunnah dengan merujuk pemahaman para sahabat yang mulia sangat banyak. Sebagian sudah dipaparkan. Di antaranya, hadits al ‘Irbadh bin Sariyah:
Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan kewajiban mengikuti al Kitab dan as-Sunnah dengan merujuk pemahaman para sahabat yang mulia sangat banyak. Sebagian sudah dipaparkan. Di antaranya, hadits al ‘Irbadh bin Sariyah:
“Sesungguhnya
orang yang hidup (panjang) di antara kalian akan menyaksikan perbedaan yang
banyak. Maka, kewajiban kalian ialah memegangi Sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin sepeninggalku.
Pegangilah dengan geraham-geraham kalian . . .’
Maksudnya,
pegangi sunnah para sahabatku. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengatakan ‘adhdhu ‘alaihima (pegangi keduanya), akan tetapi beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengatakan ‘adhdhu alaiha, pegangi dia, dijadikan satu kesatuan dalam satu kata
ganti, Red.). Artinya, sunnah para sahabat merupakan sunnah beliau juga.
Merekalah yang menyampaikan sunnah beliau. Orang-orang yang menyampaikan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah; mereka adalah para sahabat Nabi.
Oleh karena
itu, para ulama menetapkan, siapa saja yang menikam kehormatan para sahabat, ia
adalah zindiq. Maksudnya, dengan mencela atau berkomentar miring terhadap
sahabat atau mengkafirkan mereka, (maka) orang-orang tersebut (adalah) zindiq. Abu Zur’ah
rahimahullah pernah ditanya tentang orang-orang yang menikam kehormatan para
sahabat. Beliau rahimahullah menjawab:
Mereka itu
ingin menciderai reputasi merusak kehormatan para saksi kita untuk menggugurkan
al Kitab dan
as-Sunnah. Padahal mereka itulah (yang) lebih pantas ditikam kehormatannya.
Mereka itu kaum zindiq.[5]
Mereka itu
ingin menghancurkan kedudukan orang-orang yang telah menyampaikan al- Qur`an
dan as-Sunnah kepada kita. (Padahal), justru mereka itulah yang lebih pantas untuk
dijatuhkan kehormatannya.
Hadits yang
lainnya masih banyak. Misalnya, hadits:
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku. Kemudian generasi selanjutnya, dan kemudian generasi
selanjutnya” [6]
Aspek puncak
kebaikan pada hadits ini, ialah ditinjau dari aspek ilmu dan pemahaman, bukan (dari aspek) kebaikan fisik,
nasab (keturunan) atau lainnya. Kemudian datang generasi sahabat. Yang
menjadikan manhaj dan pemahaman mereka sebagai hujjah di hadapan umat
setelahnya. Terutama, saat mereka beradu argumentasi dengan golongan-golongan sesat.
Sebut saja
‘Abdullah bin Mas’ud. Suatu hari, beliau memasuki masjid Kufah. Di dalamnya,
beliau menyaksikan sekumpulan orang-orang duduk melingkar sambil mengucapkan
tasbih, takbir dan tahmid dengan hitungan kerikil-kerikil. (Berikut dialog antara sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud dengan mereka).
“Beliau
(‘Abdullah bin Mas’ud) bertanya (kepada mereka),”Perbuatan apakah yang sedang
aku lihat kalian mengerjakannya?”
Mereka menjawab,”Wahai Abu Abdir-Rahman! Ini adalah kerikil-kerikil. Kami membaca takbir, tahlil dan tasbih dengannya.”
Maka beliau menimpali: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kalian terseret kepada kebinasaan. Para sahabat Nabi kalian pun masih banyak. Lihatlah, baju-baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum rusak. Periuk-periuk beliau belum pecah”.
Mereka berdalih,”Kami hanya ingin berbuat baik saja.”
Beliau pun berkata: “Berapa banyak orang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak meraihnya atau tidak sampai kepadanya”.
Mereka menjawab,”Wahai Abu Abdir-Rahman! Ini adalah kerikil-kerikil. Kami membaca takbir, tahlil dan tasbih dengannya.”
Maka beliau menimpali: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya aku menjamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kalian terseret kepada kebinasaan. Para sahabat Nabi kalian pun masih banyak. Lihatlah, baju-baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum rusak. Periuk-periuk beliau belum pecah”.
Mereka berdalih,”Kami hanya ingin berbuat baik saja.”
Beliau pun berkata: “Berapa banyak orang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak meraihnya atau tidak sampai kepadanya”.
Syahid (bukti
yang bisa dipegangi) dari pernyataan itu ialah, “sedangkan para sahabat masih
banyak”. Seandainya kalian berada di atas jalan kebenaran, sudah pasti ada sahabat yang
bersama dengan kalian. Ketika tidak ada seorang pun dari mereka yang bersama
kalian, berarti kalian berada dalam pintu kesesatan.
Lihatlah,
logika berikut yang dipakai ‘Abdullah bin Mas’ud dalam membungkam mereka.
Beliau mengatakan selanjutnya
:
“Demi Allah,
wahai orang-orang, kalian itu berada di atas ajaran, kalau tidak lebih baik
dari ajaran Muhammad (dan ini merupakan bentuk kekufuran) atau kalian sedang
membuka pintu kesesatan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada
kami ada kaum yang membaca al Qur`an tapi tidak menembus kerongkongan mereka.
Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan dari kalian termasuk mereka “.
Perawi hadits
ini, ‘Amr bin Salimah berkata: “Kami menyaksikan kebanyakan orang-orang itu mememerangi
kami di perang Nahrawan bersama Khawarij”.[7]
Jadi, ketika
mereka keluar dari pemahaman para sahabat Rasulullah, hal itu menyebabkan
mereka khuruj (melepaskan diri) dari umat Rasulullah.
Juga cara yang
ditempuh oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu saat Khalifah Ali radhiallahu’anhu mengutusnya menghadapi
orang-orang Khawarij.
Mereka
bertanya,”Darimana engkau?”
Beliau (Ibnu
‘Abbas radhiallahu’anhu ) menjawab,”Aku datang dari saudara sepupu Rasulullah
dan menantu beliau dan dari para sahabat. Kepada merekalah al Qur`an turun. Mereka adalah orang-orang yang
lebih berilmu daripada kalian. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang
menyertai kalian”.
Lihatlah,
‘Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mendesak pionir-pionir kaum Khawarij
dengan manhaj para
sahabat Rasulullah, dan menjadikan pemahaman para sahabat sebagai sumber
argumentasi di hadapan mereka.
Setelah itu,
melalui pergantian generasi demi generasi, ternyata kita menjumpai para ulama
di setiap generasi dan abad itu, mereka bersepakat satu kata dalam masalah ini. Yaitu, keharusan
memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dengan merujuk (kepada) pemahaman
para sahabat, hingga pada masa kita sekarang ini.
Kita melihat
ulama-ulama besar pada zaman sekarang, seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh
Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin; mereka semua sepakat, bahwa seorang muslim
seharusnya memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman para
sahabat Nabi. Inilah yang disebut manhaj Salaf. Pasalnya, bila menyaksikan keadaan golongan-golongan
yang ada, baik pada zaman dahulu atau firqoh pada masa sekarang ini, sangat
bertentangan dengan manhaj para sahabat.
Ambil contoh, Khawarij. Perkara prinsip (yang ada) pada mereka, (yaitu) mengkafirkan para sahabat dan bahkan memeranginya. Mereka telah melakukan pemberontakan terhadap ‘Utsman, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka juga melancarkan pemberontakan kepada ‘Ali, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka memerangi para sahabat dan membunuhi dan mengkafirkannya. Bagaimana bisa dikatakan, mereka berada di atas manhaj yang sesuai dengan manhaj para sahabat Nabi yang sudah mereka perangi dan mereka bunuh?
Ambil contoh, Khawarij. Perkara prinsip (yang ada) pada mereka, (yaitu) mengkafirkan para sahabat dan bahkan memeranginya. Mereka telah melakukan pemberontakan terhadap ‘Utsman, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka juga melancarkan pemberontakan kepada ‘Ali, dan akhirnya membunuh beliau. Mereka memerangi para sahabat dan membunuhi dan mengkafirkannya. Bagaimana bisa dikatakan, mereka berada di atas manhaj yang sesuai dengan manhaj para sahabat Nabi yang sudah mereka perangi dan mereka bunuh?
Begitu pula,
kaum Syi’ah, yang telah mengkafirkan para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang sahabat saja yang
selamat dari vonis mereka. Salah seorang ulama Syi’ah melontarkan perkataan:
“Telah binasa para sahabat Nabi, kecuali tiga atau tujuh orang saja”. Mereka
selalu melaknat Abu Bakr dan ‘Umar. Mereka juga memiliki bacaan sholawat yang berbunyi: “Ya Allah,
laknatlah dua berhala Quraisy, jibt dan thaghut mereka (Abu Bakr dan Umar),
yang telah melakukan tahrif (perubahan) terhadap kitab-Mu”. Bagaimana mungkin
Syi’ah berada di atas pemahaman para sahabat Rasulullah?!
Atau lihat saja
Mu’tazilah. Tokoh besarnya, Washil bin ‘Atha` berkomentar miring terhadap
sahabat ‘Ali, az-Zubair dan Thalhah yang telah menerima kabar gembira dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa masuk syurga.
Ia (Washil bin
‘Atha`) berkata,”Seandainya
Thalhah, az-Zubair dan ‘Ali bersaksi mengenai setumpuk sayuran di depanku, aku
tidak akan menerima persaksiannya.”
Bagaimana
mungkin mereka berada di atas manhaj para sahabat, sebab mereka saja menolak
persaksian sahabat?!
Lihat juga
pentolan Mu’tazilah
lainnya, (yaitu) ‘Amr bin ‘Ubaid. (Dia) berkomentar tentang sahabat dengan
berkata: “(Mereka itu) amwatun ghairu ahya` (orang-orang mati, tidak hidup)”.
Menikam dan
menghina para sahabat Rasulullah! Jadi, golongan-golongan itu, banyak yang
melancarkan
penghinaan kepada sebagian sahabat.
Demikian pula,
bila kita perhatikan kelompok-kelompok pergerakan pada zaman sekarang ini; akan
kita jumpai sebagian pendiri dan tokoh-tokohnya menjatuhkan kehormatan sebagian
sahabat. Ada yang menyatakannya dengan sindiran. Contoh-contohnya sangat banyak.
Coba lihat,
penulis kitab adh-Dhilal (Dhilalul-Qur`an). Penulis kitab itu (telah) menghina
sahabat ‘Amr bin al ‘Ash dan Mu’awiyyah. Bahkan menganggap kekhilafahan
(kekuasaan) Khalifah ‘Utsman sebagai pengisi kekosongan belaka antara ‘Umar dan ‘Ali. Artinya, orang ini
mengesampingkan kekhilafahan ‘Utsman.
Sebagian lagi
melontarkan celaan kepada sahabat Mu’awiyyah. Sejumlah orang begitu meremehkan
masalah penghinaan yang dialamatkan kepada beliau. Sebagian ulama Salaf berkata: “Mu’awiyyah adalah
sitr (kain pelindung) para sahabat. Bila penutup ini sudah tersibak, maka pintu
itu akan termasuki”. Maksudnya, bila orang sudah berani mencaci-maki
Mu’awiyyah, maka pada gilirannya, ia akan terjerumus dalam cacian yang dilontarkan kepada Abu Musa al
Asy’ari, ‘Utsman, ‘Ali dan sahabat lainnya.
Kita tidak akan
mendapati golongan yang menghormati para sahabat dan mengagungkan serta menilai
mereka sebagai orang-orang ‘udul (adil, bersih), kecuali Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Mereka itulah
yang berjalan di atas pemahaman Salafush-Shalih, manhaj ahli hadits.
Apakah berarti
golongan-golongan itu telah keluar dari agama Islam? Tidak demikian adanya.
Ibnul-Qayyim
telah mengeluarkan pernyataan yang layak menjadi kaidah emas dalam masalah ini.
Beliau mengatakan,
syariat ada tiga macam: aturan syari’at yang munazzal (diturunkan), aturan
syari’at yang muawwal (hasil takwil), dan syari’at mubaddal (yang telah
dirubah). Golongan yang menjalankan syari’at yang munazzal (yang diturunkan)
oleh Allah kepada
Rasulullah adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Mereka itulah yang mengamalkan al
Qur`an dan as-Sunnah dengan dasar pemahaman Salaful-Ummah. Sedangkan
manhaj-manhaj atau golongan lainnya, kalau tidak bertumpu pada syari’at yang
sudah ditakwilkan, maka berlandaskan syari’at yang sudah mengalami perubahan. Setiap golongan itu,
hukumnya tergantung dengan kondisinya.
Meskipun sudah
sangat jelas kebenaran manhaj Salaf ini, masih saja ada orang yang melontarkan
tuduhan-tuduhan, syubuhat, keraguan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada umat Muhammad dan
meneguhkan kita di atas manhaj yang benar ini.
Washallallahu
‘ala Nabiyyi Muhammad wa ‘ala alihi wa Shahbihi wa sallam.
No comments:
Post a Comment