Abu Abdillah
Hamzah an-Naily
Ukhuwah dalam kecintaan pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah nikmat
agung dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Kecintaan ini memiliki banyak buah
bermanfaat dengan pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Alangkah indah, sebuah masyarakat
Islam yang tersebar di dalamnya kelembutan dan kecintaan. Setiap individu
merasa apa yang dirasakan orang yang dekat dengannya
Lihat juga Hentikan saudaraku, Ini Bukan Aqidah Salaf
Syaitan yang berasal dari jin dan manusia ketika melihat kecintaan ini
berada diantara sesama kaum Muslim, ia tidak akan tenang sampai ia bisa merusak ikatan ukhuwah ini dan
memporak-porandakan sendi ukhuwah tersebut. Mereka ingin melihat masyarakat
yang tadinya saling berlemah-lembut dan tolong menolong diantara sesama mereka
menjadi terpecah dan tercerai-berai. Syaitan melakukan ini karena kedengkian yang bertengger di
dadanya. Maka tidak ada yang bisa menjaga mereka kecuali Allâh Subhanahu wa
Ta’ala lalu berusaha untuk mementahkan keburukan dan menyingkap tipu daya
mereka.
Kondisi ini mendorong kita untuk saling mengingatkan sesama Muslim tentang tipu daya
syaitan dalam merusak ukhuwah agar kita tidak terjerembab dalam jeratnya. Hanya
dengan pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kemudian diikuti dengan
usaha untuk saling meringatkan akan makar yang digunakan untuk merusak persaudaraan dan menanamkan
permusuhan sesama saudara, kita berharap semoga Allah menyelamatkan kita semua
dari berbagai makar syaitan dan sekutuna.
Mengingat pentingnya masalah ini, penulis ingin menyampaikan beberapa
perusak ukhuwah dengan
harapan kaum Muslim mengetahui dan menjauhinya.
1. Tamak
Terhadap Apa Yang Ada Di Tangan Yang Lain Dan Cenderung Pada Keduniaan
Hal ini termasuk akhlaq yang paling tercela, yaitu tamak dengan milik
orang lain dan hasad. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hasad termasuk penyakit jiwa dan menimpa
mayoritas manusia, tidak ada yang terlepas kecuali sedikit. Karena itu
dikatakan, ‘Tidak akan kosong sebuah jasad dari hasad, tetapi orang tercela
menampakkannya dan orang mulia akan menyembunyikannya’.
Bahaya penyakit
ini terletak pada ananiyah (egois) yang berlebih dan mencintai dirinya
sendiri, disamping lemahnya iman.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sifat hasad ini dengan sabdanya, yang artinya, “Dan janganlah kalian saling mendengki…”.
Hasad akan
merusak hubungan kekerabatan, persahabatan, menimbulkan permusuhan sesama manusia serta
menjauhkan jamaah. Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan resep untuk penyakit
ini dengan mengatakan, “Barangsiapa mendapati pada dirinya ada hasad pada orang
lain, hendaknya ia menggunakan takwa dan sabar hingga ia membenci hasad dari dirinya”.
Hal yang perlu
diketahui dalam masalah ini bahwa jika ketergantungan terhadap dunia dan
perhiasannya semakin bertambah akan semakin berkurang rasa tolong menolong dan akan semakin langka
itsar (mendahulukan orang lain atas dirinya, pent)
2. Ghibah
Allâh Subhanahu
wa Ta’ala telah melarang untuk saling ghibah satu sama
lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. [Al-Hujurat/49 :12]
Imam Thabari rahimahullah mengatakan, “Apakah kalian suka untuk memakan
daging saudaranya yang sudah meninggal? Jika kalian tidak menyukainya dan membencinya karena
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya atas kalian. Begitu juga kalian tidak
suka ghibah pada masa hidupnya maka bencilah ghibah padanya pada masa hidupnya sebagaimana kalian benci (memakan) dagingnya ketika
sudah mati. Sungguh Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan ghibah pada yang masih hidup sebagaimana diharamkan memakan dagingnya ketika
sudah mati “.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sebagaimana kalian
benci untuk memakannya, terutama jika sudah mati dan hilang ruhnya. Begitu juga
bencilah ghibah padanya dan memakan dagingnya pada masa
hidupnya”.
Ghibah bermakna seseorang menyebut saudaranya yang tidak ada di hadapannya
dengan yang tidak ia sukai, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Mereka berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kalian menyebut saudaramu
dengan apa yang dia tidak sukai”. Dikatakan, “Apa pendapat
Anda jika apa yang aku sebutkan ada pada saudaraku?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika apa yang engkau
katakan ada padanya, sungguh engkau telah men-ghibah-nya, jika yang kau katakan
tidak benar sungguh engkau berdusta dan mengada-ada”.
Jika seseorang
menyebut saudaranya dengan hal yang tidak disukai saudaranya meskipun hal itu
benar dan ia tidak ada di hadapannya maka itulah ghibah, namun jika ia menyebut saudaranya dengan hal yang tidak disukai saudaranya dan itu tidak
benar maka ia telah mengada-ada dan berdusta dan menuduh yang bukan-bukan.
Ghibah akan memutus ukhuwah keimanan, karena secara umum hal ini tidak akan
menjadi rahasia yang tersimpan (namun akan tersebar). Hanya sedikit orang yang menyembunyikan
perkataan, bahkan perkataan ini sampai pada empunya. Maka ia akan benci pada
orang yang menggunjingnya dan akan terjadi permusuhan di antara mereka.
3. Tajassus (Memata-Matai Yang Lain)
Hal ini terjadi
dengan mencari aurat
dan rahasia seseorang dengan mengamati tanpa sepengetahuan yang bersangkutan,
dengan menguping pembicaraan, atau dengan mencari-cari sesuatu yang
disembunyikannya dari orang lain tanpa seizinnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
melarang Kaum Mukmin dari tajassus ini dengan mengatakan,
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang [Al-Hujurat/49:12]
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah mengatakan, “Jangan memeriksa rahasia Muslim, dan jangan
mencari-carinya, tinggalkanlah mereka apa adanya, dan lupakan kesalahan-kesalahan
mereka, karena jika dicari-cari akan terjadi hal (buruk) yang tidak seharusnya
terjadi“.
Tajassus ini akan menyebabkan kedengkian dan permusuhan di masyarakat, karena
obyek akan merasa diragukan dan tidak dipercaya sehingga ia marah terhadap
orang yang mencari-cari keburukannya.
4. Lamz Dan Ghamz (Mencela Dan Meremehkan) Orang Lain.
Makna yang
pertama adalah
mencela seseorang di depannya dengan perkataan walau perkataan itu samar.
Terkadang celaan yang samar ini lebih dahsyat daripada celaan terang-terangan
dan lebih menyakitkan hati. Disamping celaan yang ditujukan padanya, celaan
model ini juga mengandung
makna menganggapnya bodoh dan lalai. Pencela mengesankan khalayak yang ada di
majlis bahwa obyek adalah seorang yang bodoh dan tidak sadar dengan celaan yang
ditujukan padanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri
[Al-Hujurat/49:11]
Kita dapati
bahwa al-Qur’an membahasakan celaan pada saudaranya yang muwwahhid dengan celaan pada dirinya sendiri seakan-akan
mereka semua adalah satu jasad.
Syaikh As-Sa’di
mengatakan, “Saudaranya
yang muslim diberi nama nafs/jiwanya sendiri karena orang Mukmin harus seperti
satu jasad. Jika ia meng-hamz yang lain, maka orang lain tersebut akan meng-hamz pelaku pertama dan pelaku pertama inilah penyebab hamz kedua.
5. Sikhriyyah (Merendahkan yang Lain)
Celaan terhadap
saudara yang lain adalah permusuhan terhadap kehormatannya.
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim. [Al-Hujurat/49:11]
Syaikh As-Sa’di
rahimahullah mengatakan, “Hal ini juga salah satu hak seorang Mukmin atas
Mukmin yang lain agar tidak saling mencela satu sama lain dengan perkataan dan
perbuatan yang menunjukkan penghinaan karena hal tersebut diharamkan. Hal ini juga menunjukkan
ketakjuban pencela pada dirinya sendiri. Barangkali yang dicela lebih baik dari
pencela, dan ini yang nyata banyak terjadi. Pencelaan tidak terjadi
kecuali dari hati yang penuh dengan kejelekan akhlaq dan kosong dari akhlaq
terpuji”.
Salah satu
akibat buruk sifat ini adalah keinginan untuk balas dendam dan memotong tali
persaudaraan dan kasih sayang.
Marah adalah
percikan api yang membakar yang bisa menjadikan orang buta dan tuli, seorang yang sudah marah maka
peringatan tidak akan memberi manfaat padanya begitu juga nasehat tidak akan
mengembalikannya. Kita memohon pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala nikmat ‘afiyah.
Ibnu Qudamah
al-Maqdisy rahimahullah
mengatakan, “Ketika api kemarahan menyala dan berkobar, api itu akan membutakan
orang dan menjadikannya tuli dari mauidzah (nasehat)
karena kemarahan itu sudah menjalar ke otaknya dan menutup pikirannya.
Terkadang malah menjalar ke fungsi rasa (dalam tubuhnya) hingga ia tidak bisa melihat dengan mata
kepalanya sendiri ”.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan sifat tercela ini dan
mengulang wasiat ini
pada seseorang yang memintanya untuk memberikan nasehat padanya. Maka
Rasulullah bersabda padanya, “Jangan marah!”.
Ibnu Hajar
rahimahullah menjelaskan, “Ibnu Tin rahimahullah mengatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengumpulkan dalam perkataannya “jangan marah” kebaikan dunia dan akhirat, karena marah akan memutus (hubungan antar
manusia) dan menghalangi sikap lemah-lembut dan barangkali akan menyakiti orang yang
dimarahi dan mengurangi agama orang yang marah’ .
Marah adalah
percikan api yang akan memutus dan merusak tali ukhuwah, tidak mendekatkan dan malah menjauhkan dengan
orang yang bersifat demikian. Kita memohon ‘afiyah.
Maka inilah
beberapa perusak ukhuwah yang akan memutus hubungan yang penuh dengan kecintaan
dan menghilangkan persahabatan sesama saudara. Maka secara global perusak ini
kembali pada
terjatuhnya seseorang dalam dosa dan kemaksiatan, terputusnya hubungan adalah
sanksi atas kemaksiatan yang terjadi.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah dua
orang saling mencintai dan mengasihi karena Allah atau (kecintaaan) dalam Islam, maka
terputusnya hubungan antara keduanya karena dosa pertama yang dilakukan salah
satu di antara mereka”.
Dalam riwayat
lain disebutkan,
“Kecuali karena
dosa yang pertamakali dilakukan salah satu di antara keduanya”.
Rusaknya
hubungan persaudaraan tidak harus terjadi dari dosa yang terkait dengan hak
saudaranya, dzahir hadist menunjuk dosa secara umum seperti meninggalkan
hal-hal yang wajib dalam Islam atau tidak menjaga lisan dari buruknya perkataan semisal ghibah atau membicarakan harga diri yang lain atau malah mencela yang lain…dan
yang lain dari dosa dan kemaksiatan.
Hal lain yang
perlu diperhatikan juga, salah satu hak saudara Muslim adalah untuk diingatkan dan dinasehati namun
dengan cara yang lemah lembut dan bukan dengan celaan terhadap setiap
kesalahan, baik itu kecil atau besar. Pengingkaran terhadap kesalahan dengan
celaan ini jika sering dilakukan akan menjadikan orang bosan dan akan memotong
kecintaan di antara
mereka karena kemungkinan yang terjadi barangkali seseorang tidak tahan dengan
kesalahan sedikitpun, atau dia berprasangka buruk terhadap saudaranya, atau
senantiasa pandangannya senantiasa miring terhadap saudaranya karena ia kurang
memperhatikan haknya
sebagai saudaranya. Maka kita harus meyakini tidak akan ada teman dan saudara
yang tidak memiliki cela dalam kecintaannya karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala ,
bahkan kita sendiri juga memiliki kekurangan. Maka kewajiban kita untuk menutup
dan meluruskan
perusak ini dan kita memohon Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk memperbaiki
keadaan kita dan saudara kita.
As-Salaf
as-Shalih dari Shahabat Radhiyallahu anhum dan orang lain
yang mengikuti jalan mereka telah memberikan teladan yang paripurna dalam mewujudkan persaudaraan
karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang terjadi dalam
persaudaraan orang Muhajirin dan Anshar Radhiyallahu anhum.
Penulis
mengharapkan sebelum kita menutup peringatan yang agung dalam menjaga ukhuwah
ini agar kita meneladani
kisah para Shahabat Radhiyallahu anhum. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan
kemurahan-Nya memudahkan kita menempuh jalan Mereka Radhiyallahu anhum.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi08122589079]
_______
Footnote
_______
Footnote
[13] Al-Bukhâri, Adab al-Mufrad hadist 401 dari Anas bin Malik z , hadist
ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Silsilah as-Shahîhah hadist 637.
No comments:
Post a Comment