TELAH menjadi satu ketetapan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pasti, bahkan tidak akan berubah hingga hari
kiamat, bahwa kehidupan manusia sangat mustahil tanpa fitnah, cobaan, dan
musibah. Bahkan penciptaan langit dan bumi, kehidupan dan kematian, serta apa yang menghiasi keduanya;
semuanya dalam rangka melakukan pengujian dan penyaringan terhadap seluruh
hamba. Untuk menentukan, siapa di antara mereka yang menginginkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siapa yang lebih memilih dunia dan keindahan
semunya.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar dia menguji siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk
Mekkah): ‘Sesungguhnya
kamu akan dibangkitkan sesudah mati’, niscaya orang-orang yang kafir itu akan
berkata: ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata’.” (QS. Hud: 7).
Dan dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di
bumi sebagai
perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7).
Ya, keimanan memang bukanlah sekadar sebuah kata yang mudah diucapkan. Ia
adalah sesuatu yang memiliki beraneka ragam konsekuensi. Ia adalah amanah yang memiliki
beban, jihad yang membutuhkan kesabaran, dan kesungguhan yang berhajat kepada
keteguhan hati. Sehingga tidaklah cukup sekadar menyatakan: Kami telah beriman.
Manusia tidak akan pernah dibiarkan dengan pengakuan seperti itu, hingga
mereka dihadapkan
pada berbagai fitnah, di mana keteguhan mereka diuji, lalu akhirnya mereka
keluar dalam keadaan murni dan bersih. Fitnah terhadap keimanan adalah perkara
yang akan tetap ada, sebab ia telah menjadi ketetapan di sisi Allah Tuhan Yang
Maha Pengasih dan
Maha Bijaksana.
Dan prinsip ini telah dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah
berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214).
Allah juga menegaskan dalam ayat lain:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum
nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali-Imran: 142).
Itulah sebabnya,
dalam As-Sunnah dijelaskan bahwa orang-orang beriman itu diuji sesuai dengan
kadar keimanan mereka. Suatu ketika Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ditanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah gerangan manusia yang paling berat
cobaannya?” Lalu beliau menjawab: “Para Nabi. Lalu kemudian yang paling menyerupai (mereka).
Seorang hamba itu diuji sesuai dengan agamanya. Jika agamanya kuat, maka
semakin beratlah cobaannya. Namun bila agamanya lemah, maka ia akan diuji
sesuai dengan (kadar) agamanya.” (HR. Ibn Majah dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany).
Dalam hadits lain, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam memberikan pelajaran betapa pentingnya bersikap tidak tergesa-gesa dalam
bertindak. Suatu ketika saat Rasulullah tengah berbaring di bawah Ka’bah, datanglah sahabat Khabbab
ibn Al-Art mengadu: “Wahai Rasulullah! Mengapa engkau tidak memohonkan
kemenangan untuk kami? Mengapa engkau tidak mendoakan kami?” Maka beliau
menjawab: “Dahulu orang-orang sebelum kalian, seseorang itu dibawa lalu
digalinya lubang
buatnya, lalu ia ditanam di dalamnya. Kemudian didatangkan sebuah gergaji lalu
kepalanya dibelah hingga menjadi dua bagian, dan kepalanya disisir dengan sisir
dari besi hingga daging dan tulangnya nampak, namun hal itu tidak membuatnya
bergeser dari agamanya.”
Sesungguhnya keimanan adalah amanah Allah di atas muka bumi ini. Ia tidak
diemban kecuali oleh orang yang memang pantas untuk mengembannya, yang memang
mempunyai kemampuan untuk memikulnya, dan hati mereka dipenuhi dengan
kesungguhan dan keikhlasan. Bukan untuk orang yang lebih memilih kesenangan, keselamatan,
kenikmatan, dan keamanan. Dan untuk memilih siapa yang berhak untuk mengemban
amanah itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan fitnah sebagai sebuah sunnatullah bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman.*/Sudirman STAIL (sumber
buku: Saat Fitnah Menghadang, penulis: Abul Miqdad Al-Madany)
No comments:
Post a Comment