Sunday, 27 May 2018

Tegar Dan Kokoh Diatas Manhaj Salaf

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; “manhaj” dan “salaf”. “Manhaj” dalam bahasa Arab sama dengan “minhaj”, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al-Mu’jamul Wasith 2/957)

Sedangkan “salaf” , menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan (Lisanul Arab, karya Ibnu Manzhur, 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah ﷺ, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-‘Aqil, 1/55)

Berdasarkan definisi di atas, maka “manhaj salaf” adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah ﷺ, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah ﷺ. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As-Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/21)

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Qur`an dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al-Firqatun Najiyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari an-naar (neraka) (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c), disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban z). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An-Najiyah, karya Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah ﷺ dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur‘an dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ di dalam Sunnahnya. Sedangkan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Adapun ayat-ayat Al Qur`an yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah ﷺ, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi’ah).” (Madaarijus Saalikin, 1/72)
Penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para shahabat Rasulullah ﷺ –yang mereka itu adalah Salafush Shalih– merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah ﷺ dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah ﷺ pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah ﷺ tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah ﷺ , juga dengan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al-Mirqat fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38)

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para shahabat Rasulullah ﷺ (As-Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalan para shahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah ﷺ dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah (surga-surga) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah-Nya untuk para shahabat Muhajirin dan Anshar (As-Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan jannah (surga) seperti mereka.
Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka berupa jannah-jannah yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367)
Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun hadits-hadits Rasulullah ﷺ adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah z. Lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)
Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti Sunnah Rasulullah r dan sunnah Al-Khulafa‘ Ar-Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Rasulullah ﷺ –sebagaimana yang engkau saksikan– telah merangkai “sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin” dengan “Sunnah” beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti Sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti Sunnah Nabi mereka ﷺ, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau ﷺ, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al-I’tisham, 1/118)

2. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari shahabat Tsauban z, hadits no. 1920)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ash-habil Hadits, karya Al-Khathib Al-Baghdadi, hal. 36)
Al-Imam Ibnul Mubarak t, Al-Imam Al-Bukhari t, Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Muhaddits t, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ash-habil Hadits, hal. 26, 37)

Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah ﷺ). Di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau ﷺ mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal. 131)

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3 Rasulullah ﷺ bersabda:
“Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam an-naar, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada’.” (Hasan, riwayat At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)
Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil –red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam an-naar, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Qur‘an dan Sunnah Rasulullah ﷺ dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
Ketiga, Rasulullah ﷺ telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah r sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir.” (Tarikh Ahlil Hadits hal. 78-79)

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah ﷺ itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah ﷺ, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah jannah yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah ﷺ .
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para shahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al-Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i t berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, karya Al-Imam Al-Ajurri, hal. 63)
2. Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit t berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As-Suyuthi, hal. 322, dinukil dari kitab Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54)
3. Al-Imam Abul Muzhaffar As-Sam’ani t berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88)
4. Al-Imam Qawamus Sunnah Al-Ashbahani t berkata: “Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/437-438, dinukil dari kitab Al-Intishar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat, 3/284, dinukil dari Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57)
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, ber-intisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149)
Beliau t juga berkata: “Bahkan syi’ar ahlul bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

Sumber

Monday, 21 May 2018

Jaminanan Keamanan Beragama pada Era Umar dan Shalahuddin

DUA figur agung ini menempati posisi sangat penting dalam memori umat Islam. Kebesarannya bukan hanya diakui internal muslim, bahkan umat lain yang obyektif pun mengakuinya.
Dua sisi kepahlawanan yang begitu melekat dalam benak umat dari dua sosok ini adalah keberhasilan dalam pembebasan Baitul Maqdis dan toleransi yang begitu tinggi sehingga keamanaan beragama umat lain terjamin. Tulisan ini akan berfokus pada jaminan keamanan beragama di era Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Tak seperti Pasukan Salib saat memasuki Baitul Maqdis 1099 M melakukan pembantaian, Shalahuddin Al Ayyubi justru memberi kebebasan dan jaminan keamanan


Era Umar bin Khattab
Pada tahun 15 H / 636 M, disaksikan oleh Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum, perjanjian agung yang diinisiasi oleh Umar (w. 644 M) di Bumi Baitul Maqdis menorehkan sejarah baru bagi kerukunan umat berama. Pasalnya, pada momentum sangat bersejarah ini, Khalifah Kedua ini membuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Elia.

Bagi yang memperhatikan dan menelaah secara saksama kandungan perjanjian ini, maka tidak akan terbantahkan bahwa di dalamnya mengandung jaminan keamanan bagi pemeluk agama.
Perjanjian ini berisi jaminan keamanan bagi penduduk Elia. Keamanan menyangkut jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka dan semua agama. Gerja dilindungi. Tidak akan dirusak, dikurangi bahkan dipindahkan. Termasuk salib dan harta mereka juga dilindungi.

Berikut ini di antara paragraf penting yang termaktub dalam perjajian tersebut, “Bismillah al-Rahman al-Rahim. Ini jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Elia. Umar menjamin keamanan hagi seluruh jiwa, harta, gereja, salib, orang lemah, orang merdeka, dan semua agama yang ada. Gcreja-gcrcja mereka tidak akan dihuni atau dirusak, dikurangi atau dipindahkan. Demikian pula dengan salib dan harta mereka. Mereka tidak akan dibenci karena agama.” (Qasim A. Ibrahim, 2014:145, 146)
Melalui perjanjian ini, Umar Al-Faruq menunjukkan kesejatian Islam ketika memimpin dunia. Saat berkuasa, ternyata Islam mampu membangun iklim yang sejuk dan nuansa perdamaian bagi para pemeluk agama. Bahkan, sebelum perjanjian Elia pun, saat baru sampai di Baitul Maqdis, toleransinya kepada umat lain sudah tercermin jelas.
Ketika ayah Hafshah ini memasuki kawasan Baitul Maqdis, Palestina, beliau sempat masuk ke Gereja Al-Qiyamah (Holy Sepulchre). Bahkan sempat duduk di halamannya. Pada saat yang bersamaan, tibalah waktu shalat.

Umar pun berkata, “Aku hendak melaksanakan shalat.” Uskup Agung (Yerusalem Sophronius) pun menawarkan kepadanya untuk mendirikan shalat di Gereja ini, namun tawaran tersebut ditolak agar tak muncul anggapan bahwa gereja tersebut milik Muslim sehingga kelak bisa menimbulkan klaim dan membangun masjid secara paksa (Khudhari, 1982: 102).
Karen Amstrong dalam buku “Jerusalem: One City, Three Faiths” (2011:228) mengakui betapa besarnya toleransi Umar kepada pemeluk agama lain. Penulis terkenal Inggris ini mencatat: “He presided over the most peaceful and bloodless conquest that the city had yet seen in its long and often tragic history.” 

Intinya, khalifah pengganti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ini memimpin penaklukan yang paling damai dan tanpa darah yang pernah dilihat kota ini dalam sejarahnya yang panjang dan sering tragis.
Tak hanya itu, saat orang Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan, perusakan harta benda, pembakaran simbol agama, pengusiran atau pengambilalihan. Bahkan tidak ada upaya untuk memaksa penduduk untuk memeluk agama Islam
Era Shalahuddin Al-Ayyubi
Tak berbeda dengan Umar radhiyallahu ‘anhu jaminan keamanan Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 1193) kepada pemeluk agama lain tidak perlu diragukan. Dalam catatan sejarah, di bawah pemerintahan beliau, rakyat hidup aman dan sejahtera. Menariknya, rombongan Kristen dibolehkan berkunjung ke Baitul Maqdis dan semakin hari jumlahnya makin banyak. Ketika Richard khawatir Shalahuddin marah, akhirnya ia memintanya untuk melarang peziarah yang tidak mendapat izin resmi atau rekomendasi dari Richard. Apa jawaban Shaladuddin? Pahlawan muslim agung kelahiran Tikrit ini menjawab dalam suratnya, “Mereka sudah datang jauh-jauh untuk berziarah ke tempat suci ini. Jadi tidak mungkin bagiku untuk menghalang-halangi mereka.” (Qasim A. Ibrahim, 2014 : 622)

Selain itu, yang tidak kalah menarik, Muhammad Ash-Shayim dalam buku “Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pejuang Islam”  (2006:51, 52) juga mencatat dengan baik bagaimana toleransi Shalahuddin kepada agama lain. Tidak seperti pasukan Salib yang ketika memasuki Baitul Maqdis 1099 M melakukan berbagai pembantaian, justru Shalahuddin memberi kebebasan dan jaminan keamanan dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Beliau menunjukkan simpati, bersikap lemah lembut dan memberi kebebasan kepada pemeluk Nashrani untuk menjalankan ibadah, membebaskan panglima perang Salib dan memberikan waktu 40 hari untuk pergi dari sana.

Karen Amstrong (2011:299) juga mencatat suasana aman ketika Shalahuddin menguasai daerah Ascalon (Asqolan) pada tahun 1187. Penaklukan yang dilakukan oleh Shalahuddin sangat indah. Yerusalem pun menjadi tempat yang aman bagi pemeluk Kristen dan Yahudi. Maka tidak mengherangkan bila tokoh sekaliber Shalahuddin ini dihormati kawan maupun lawan. Karena di dalam jiwa terspimpan akhlak luhur yang menjamin keamanan pemeluk agama lain.

Akhirnya, pembahasan ini dirasa penting di tengah kondisi umat Islam Indonesia yang sedang dilanda teror bom bunuh diri. Dari keduanya umat Islam secara khusus, atau umat lain pada umumnya bisa mengambil hikmah dari kedua tokoh muslim kenamaan ini bagaimana toleransi Islam tercermin dengan sangat menawan ketika memegang kendali pimpinan atas umat lain.
Mereka yang berada di bawah nauangan kekuasaan Islam, merasakan dengan sangat riil keindahan toleransi beragama dalam Islam. Bukan sekadar kata-kata indah, tapi sudah menjadi fakta sejarah.*/Mahmud Budi Setiawan
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Tuesday, 15 May 2018

Setelah Berdo'a ? Bertawakalah. (Jangan Tergesa Minta Untuk Dikabulkan)

APABILA kita sudah mengetahui bahwasanya doa adalah inti dari ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, hendaklah kita juga mengetahui bahwa doa adalah inti dari isti’anah (permintaan tolong kepada Allah).

Tidak masuk akal jika kita meminta pertolongan kepada seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tetapi dengan tidak mengucapkan satu kalimat permintaan sedikit pun. Namun, antara permintaan kepada manusia dan permohonan kepada Allah terdapat perbedaan yang sangat jauh.
Terkadang manusia menolak satu permintaan, terkadang pula ia mau memberi suatu permintaan. Akan tetapi, ketika kita memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia akan senantiasa memenuhi permintaan Anda, dan memberikan apa yang diinginkan melebihi apa yang diminta.

Sungguh benar perkataan seorang penyair:
Jangan sekali-kali Anda meminta dari anak Adam untuk satu keperluan
Mintalah kepada Dzat yang pintu-Nya senantiasa terbuka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan marah jika Anda tidak meminta kepada-Nya
Sementara anak Adam akan marah ketika diminta
Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, di antaranya firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” (Al-Mu’min [40]: 60)
Firman Allah yang lain:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 55)
Berdoa tidak hanya dilakukan di saat genting saja. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, baik dalam keadaan senang maupun susah. Rasulullah pernah bersabda:
“Kenalilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di kala senang, niscaya Dia pasti akan mengetahuimu ketika susah.” (HR Ahmad).
Seorang hamba hendaknya banyak berdoa kepada Allah dan selalu mengulang-ulang (baca; mendesak) doanya, karena Allah menyukai hamba-Nya yang mengulang-ulang dalam doanya sebagaimana firman-Nya:
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“…Maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…” (Al-Baqarah[2]: 186).
Lafazh ‘idza’ (diterjemahkan dengan apabila-edt) berfungsi sebagai tahqiq (benar-benar melakukannya) dan katsrah (sering mengulang-ulang). Berbeda dengan lafazh `in‘ yang berfungsi mewakili perasaan syak (keraguan) dan menunjukkan bahwa tindakan tersebut jarang dilakukan.
Dengan demikian, Allah menyeru hamba-Nya untuk ilhah (mengulang-ulang/mendesak) ketika berdoa dan Dia menjanjikan mereka jawaban yang baik. Hendaklah setiap hamba mengetahui bahwa doanya tidak akan pernah sia-sia.

Rasulullah bersabda:
“Tidak ada seorang muslim pun di bumi ini yang berdoa kepada Allah  kecuali Allah akan memenuhi permohonannya, atau Dia akan memalingkannya dari kejelekan yang setimpal dengan doanya, selama dia tidak berdoa untuk kesalahan (dosa) atau memutuskan silaturrahim.” Seorang laki-laki berkata, ‘Kalau begitu, kami akan banyak melakukannya (berdoa).’ Beliau bersabda, ‘Allah akan lebih banyak lagi (mengabulkannya)’.” (HR At-Tirmidzi).
Oleh sebab itu, jika seorang muslim berputus asa dari dikabulkannya doanya, niscaya doanya juga tidak akan dikabulkan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, (yaitu) ia berkata, Aku telah berdoa kepada Rabb-ku, namun doaku belum juga dikabulkan’.”
Allah tidak tergesa-gesa sebagaimana ketergesaan anak Adam, namun setiap keputusan (takdir) yang ada di sisi-Nya mempunyai waktu tertentu. Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i:
Apakah engkau menyepelekan dan meremehkan doa
Sementara engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh doa
Panah di waktu malam tidak akan salah sasaran
Namun dia memiliki jarak, dan ia mesti ditempuh

Telah disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Nabi Musa alaihis salam ketika berdoa untuk kecelakaan pengikut Fir’aun, beliau berdoa:
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُواْ حَتَّى يَرَوُاْ الْعَذَابَ الأَلِيمَ
“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka. Maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus [10]: 88)
Kemudian Allah berfirman kepada beliau:
قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا
“…Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua…” (Yunus [10]: 89)
Allah baru mewujudkan doa beliau setelah empat puluh tahun kemudian, dengan ditenggelamkannya pengikut Fir’aun dan diberikannya kekuasaan kepada Bani Israil.
Apakah Nabi Allah, Musa, menganggap doanya terlambat dikabulkan? Tidak, beliau mengetahui bahwa keputusan Allah mempunyai waktu tertentu. Dengan itu, beliau memberikan kabar gembira kepada kaumnya:
رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
“…Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya). Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A’ raf [7]: 129)
Sesungguhnya hakikat isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) tampak pada sikap hamba ketika meminta kepada Rabbnya. Dia meyakini bahwa semua kebaikan berada di tangan Allah,  Dia Maha Pemurah yang memberi tanpa menghitung.
Dengan meminta kepada Allah, ia tidak perlu lagi meminta kepada sesama manusia. Dia menjadi mulia karena Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Para shahabat –semoga Allah meridhai mereka semua–memohon semua keperluan mereka kepada Allah sampai pada urusan tentang makanan ternaknya.
Apa yang menarik dari hal ini? Benar, di dalam jiwa mereka telah tertanam kuat hakikat yang besar bahwasanya Allah adalah Raja Yang Maha Pemurah, Dia tidak pernah menolak orang yang meminta kepada-Nya. Tidak pernah seorang hamba mengangkat kedua tangannya ke langit untuk meminta kepada Rabb-nya, kecuali Dia akan memberikannya.
Allah  Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah [2]: 186)
Rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menghadap (meminta) kepada Allah dalam segala hajat yang kita perlukan, baik keperluan itu datangnya dari Allah atau dari seorang makhluk-Nya, baik untuk kepentingan dunia atau akhirat.


Namun, seorang hamba tidak boleh tergesa-gesa untuk meminta agar doanya segera dikabulkan. Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya. Dia mengetahui kapan memberinya dan kapan menahannya. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah:
“Barang siapa yang berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian dia shalat dua rakaat dengan sempurna, Allah akan memberikan apa yang dia minta, baik dengan segera atau ditunda.” (Al-Bukhari, Ahmad, dan Ath-Thabrani dari Abu Darda’).*/Dr. Hani Kisyik, dari bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia
Rep: Syaiful Irwan
Editor:
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Monday, 14 May 2018

Ramadhan, Bulan Interkasi Dengan AlQur’an



Ramadhan, Bulan Interkasi Dengan AlQuran

Hari ini umat islam telah terpuruk dalam berbagai bidang ,baik ekonomi,sosial,teknologi,pengteahuan dan lainnya lagi. Sejarah membuktikan bahwa kejayaan umat isalam pada zaman Nabi, Sahabat, dan generasi dibelakangnya karena mereka mendekatkan diri kepada Al-Quran,sejarah juga mencatat bahwa runtuhnya kejayaan islam dikarenakan umat mulai menjauh dari Al-Quran .
Sesungguhnya Allah mengangkat sebagian kaum berkat kitab ini Al Quran ,Dan Allah menghinakan kaum yang lain dengan Al-Quran (HR ahmad dan muslim)
Berinteraksi dengan Al-Quran tidak hanya membacanya .Tetapi lebih dari itu,yaitu memahami isinya,menghafalkannya dan mengamalkan dalam kehidupan nyata.Dengan hal itulah dimensi permasalahan umat akan selesai.

Bentuk Interaksi dengan Al-Quran.

1.     Qiroah (Membaca). Perlu kita ketahui membaca tanpa perlu dituntut untuk memahami artinya. Tentu membaca disini  kita sepakati sesuai dengan kaidah membaca Al-Quran yang benar (Tadjwid,makhraj dan tartil).Pahala membaca dengan benar walau sedikit lebih banyak daripada membaca dengan banyak tapi salah
Dari Ummul Mu’Mini Aisyah berkata ,bahwa Raulullah bersabda “yang membaca Al-Quran dan dia mahir membacanya,dia bersama malaikat yang mulia.Sedangkan yang membaca Al-Qur’an namun dia tidak tepat membacanya maka baginya dua pahala.” (Al-Bukhari dan Muslim

2.     Tilawah(Baca Al-Quran dengan makna ) .Bagi orang yang sudah bagus dan benar bacaanya,Nabi Muhammad mengajarkan untuk bertilawah.Dari seorang sahabat  ,yakni Abdurrahman As sulami,ia berkata Para pembaca Al-Quran semisal Utsman bin Affan,Abdullah Bin Masud dan lain-lain mereka bercerita kepada kami bahwa mereka belajar dari Rasulullah 10 Ayat.Mereka tidak menambahnya sampai memahami makna kandungannya dan mengamalkannya, mereka berkata, Kami mempelajari Al Quran memahaminya sekaligus mengamalkannya.
Walaupun sahabat Nabi adalah orang-orang yang imannya paling kuat dan paling dekat dengan Nabi Muhammad mereka tidaklah terburu-buru mempelajari Al-Quran.Para sahabat Nabi hanya belajar Al-Quran 10 ayat dalam riwayat lain ada yang hanya 5 ayat.
Allah memberikan tiga hal kepada yang tilawah.Pertama,Malaikat bekerumun dan apabila Malaikat berkerumun maka dia akan mendoakan ampun serta mengaminkan doa pembaca Al-Quran,Kedua, Allah memberi rahmat ,Ketiga,Allah memberi sakinah/ketenangan bagi pembacanya yang berusaha memahami artinya.Keempat,Allah sanjung mereka sampai selesai belajar.

3.     Tahfidz( Menghafal Al-Quran) .Ini pahala teragung,karena selain membaca mengulang-ngulang terus sampai hafal dan menjaganya serta berusaha memahaminya.
Dari Abdullah bin Amr,Nabi bersabda , Ditawarkan kepada penghafal Al-Quran Baca dan naiklah ketingkat berikutnya.Baca dengan tartil sebagaimana dulu kamu mentartilkan Al-Quran ketika kamu di dunia.Karena kedudukanmu disurga setingkat dengan banyaknya ayat yang kamu hafal. (Hr Abu Dawud ,Tirmidzi dan di shahihkan Al-Albani)


Mari bersama memperbanyak bacaan Al-Quran .Memahami makna yang terkandung didalamnya dan menambah atau mengulangi hafalan-hafalan yang telah dihafal.Semoga Ramadhan ini menjadi ladang untuk berlomba dalam kebaikan  dan semoga setelah Ramadhan kebaikan itu terus dilakukan .aamiin

Disqus Shortname

sigma2

Comments system

[blogger][disqus][facebook]