FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA
SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd
Al-‘Abbad Al-Badr
Pada masa sekarang ini, ada
sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai
celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan
dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta
mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang
kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi
ahlussunnah.
Adanya fenomena diatas disebabkan
dua hal:
Pertama. Ada sebagian ahlussunnah
pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah
lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam
tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut
mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan
kesalahan.
Salah satu sebab mereka melakukan
tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu
yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah
atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus
yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain
dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar
itu dengan fatwa.
Oleh karena itu, hendaknya mereka
introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan
mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber
dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan
oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian
Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian
mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”
Amat disayangkan, padahal mereka
yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui
pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya.
Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau
jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini
telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini
yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam
menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa
tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan
orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu
maupun ahlak.
Kedua, Ada sebagian Ahlussunnah
yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis
bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan
bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca
tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun
yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal
boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua
itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian
tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan
merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha
keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak
lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai
sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.
Apabila orang tersebut tidak mau
menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok
ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan
sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak
serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala
yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing
kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para
pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk
mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan
oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas
sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan
membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung
masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk
mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti
supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan
dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap
seperti itu.
Solusi Permasalahan Ini
Ada Beberapa Solusi Yang Bisa
Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.
Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan
tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:
1. Orang-orang yang sibuk mencela
ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala
dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri
memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan
orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia
miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit,
yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu
karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari
dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada
Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]
2. Hendaknya mereka berhenti
melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang
bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa
manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang
membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan,
baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih
membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti
itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah
mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu,
karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat
keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk
perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan
cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas
ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang
ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka
manusia merasa selamat dari keburukan.
3. Para penuntut ilmu dari
kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan
seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah
para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada
sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang
Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap
si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”
4. Berkaitan dengan pertanyaan
tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai
fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga
Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau
melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang
keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar
sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan,
maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan
berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan
dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai
rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai
sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil
ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat
rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk
tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat bagi dirinya.
Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah
orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara
sebagai berikut:
1. Hendaknya bantahan tersebut
dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang
kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila
kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah
pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan
bantahan, untuk kemudian diterapkannya.
2. Apabila kesalahan orang yang
dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka
selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk
diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi
orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada
kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.
3. Apabila seseorang telah
membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka
hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah.
Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat,
baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh
Syaikh bin Baz.
4. Seorang penuntut ilmu tidak
diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang
dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia
selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.
Tidak boleh seorang pun
menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau
seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan
menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang
tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah
adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot
seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang
memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang
menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi
orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang
penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang
tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat
sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan,
saling membelakangi dan saling menghalangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang
Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang
dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu
dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang
yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan
zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar
Imam Bukhari meriwayatkan dalam
kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.
أَوَّلُ جَيْشٍ يَغْزُو الْقَسْطَنْطِيْنِيَةَ
مَغْفُوْرَلَهُ
“Pasukan pertama yang memerangi
tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”
Dan pasukan pertama yang
memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub
Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.
Oleh karena itu, selayaknya kita
bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin
Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap
seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Dalam kitab yang sama (III/415),
beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam.
Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau juga berkata dalam kitab
yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai
figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan
selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah
perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan
Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah
termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau
sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan
dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.
Para pendidik tidak boleh
mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya
dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana
difirmankan Allah Ta’ala.
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan Tolong-menolonglah kamu
dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]
Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika
menjelaskan hadist:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ
مَالاَيَعْنِيْهِ
Dia berkata, “Termasuk tanda
bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna
baginya.”
Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al
‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam
masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin
abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata:
“Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist
Rasulullah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman dengan
Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau
(kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ
مَالاَيَعْنِيْهِ
“Salah satu ciri baiknya
keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”
Lalu hadist Rasulullah yang
mengandung wasiatnya yang singkat:
لاَتَغْضَبْ
“Jangan marah,”
Kemudian yang terakhir hadist:
الْمُوْ مِنُ يُحِبُّ لأَِخِيْهِ مَايُحِبُّ
“Seorang mukmin mencintai untuk
saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”
Saya Berkata : Betapa perlunya
para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas
akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain.
Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang
hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan
mencerai-beraikan persatuan.
Menjadi kewajiban bagi setiap
penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti
tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam
masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih
bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah
pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang
telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk
mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai
dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas
[Disalin dari buku Rifqon
Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr,
Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir
dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari
2004]
Read more
https://almanhaj.or.id/719-fenomena-tahdzir-cela-mencela-sesama-ahlus-sunnah-dan-solusinya.html