Tuesday, 13 November 2018

FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA


FENOMENA TAHDZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlussunnah yang sibuk menyerang ahlussunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.

Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlussunnah.


Adanya fenomena diatas disebabkan dua hal:
Pertama. Ada sebagian ahlussunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlussunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlussunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlussunnah lain yang bekerjasama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlussunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlussunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khotbah-khotbahnya. Mereka di-tahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun ahlak.

Kedua, Ada sebagian Ahlussunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlussunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlussunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini
Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

2. Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlussunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

3. Para penuntut ilmu dari kalangan ahlussunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlussunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

4. Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

1. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

2. Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

3. Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

4. Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlussunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlussunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

أَوَّلُ جَيْشٍ يَغْزُو الْقَسْطَنْطِيْنِيَةَ مَغْفُوْرَلَهُ

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut.

Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figure tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

Dia berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

لاَتَغْضَبْ

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

الْمُوْ مِنُ يُحِبُّ لأَِخِيْهِ مَايُحِبُّ

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata : Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi telaah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]


Read more https://almanhaj.or.id/719-fenomena-tahdzir-cela-mencela-sesama-ahlus-sunnah-dan-solusinya.html

Friday, 9 November 2018

KU TEMUKAN CINTA DI DALAM MANHAJ SALAF

KU TEMUKAN CINTA DI DALAM MANHAJ SALAF


[Oleh: Al-Ustadz Abu Nashim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz]

Judul tulisan di atas sengaja saya ambil dari sebuah tema Daurah SMA se Eks Karesidenan Surakarta. Ketika itu, mulai dari 25 Desember sampai dengan 28 Desember 2009, Pesantren kami mengadakan kegiatan Daurah untuk yang ke- empat kalinya bagi siswa-siswi SMA/SMK, memanfaatkan musim liburan.

Ketika sebagian muslimin ikut terlena dalam perayaan Natal atau persiapan malam tahun baru, anak-anak muda itu justru semangat-semangatnya mengkaji Islam berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan pemahaman Salaf. Rindu dan kangen rasanya dengan momen-momen seperti itu.Sudah ratusan anak muda yang pernah mengecap manisnya Daurah SMA/ SMK tersebut. Entah di mana mereka sekarang? Semoga saja mereka tetap istiqomah!

O0000_____ooooO

Bus yang kami gunakan berukuran sedang. Kurang lebih, empat puluh kursi yang tersedia. Hari Jum’at kemarin, untuk yang kedua kalinya, kawan-kawan dari kabupaten Utmah mengajak saya untuk bergabung bersama mereka dalam kunjungan ke Utmah. Kesempatan yang sulit ditolak! Utmah hari-hari ini dalam view indah-indahnya, kata mereka. Dalam perjalanan pulang, menjelang maghrib, seorang kawan bernama Basyir Al Aanisi mengubah suasana hening menjadi hidup. Dari tempat duduknya yang berada di ujung kiri bagian belakang, ia didaulat untuk berkisah kecil tentang dirinya. “Ceritakanlah perantauanmu! Pengembaraanmu untuk mencari kebenaran hakiki. Pengembaraan yang membuatmu keluar masuk berbagai kelompok Islam. Buatlah kami belajar darimu!”, kata wakil koordinator rombongan.

Mula-mula ia menolak. Dengan malu-malu ia mengaku tidak pantas berbicara di hadapan kami serombongan. Namun permintaan yang terus mengalir disertai dengan permohonan bersama, ia pun mulai bercerita. Sudah banyak kelompok Islam ia datangi. Duduk, berjalan,berdiskusi, hidup dan bergaul di tengah-tengah mereka. Bertahun-tahun lamanya ia mencari kedamaian di hati, namun masih gersang juga hatinya. Ingin ia membasahi hati agar segar, sejuk, hidup dan menyalurkan keteduhan keseluruh jiwanya. Kelihatannya ia berkisah dengan hati. Itu terlihat dengan teriakan takbir secara spontan dari sebagian peserta. Berkisahnya seakan membius kami. Terharu, tersentuh dan tersentak kami dengan ceritanya.

“Satu hal yang saya simpulkan dari kelompok-kelompok itu! Tiap-tiap kelompok menuntut agar pengikutnya memberikan sesuatu untuk kelompoknya. Ikhwanul Muslimin meminta suaramu untuk menang pemilu. Jama’ah Tabligh mengharuskanmu untuk hidup berhari-hari di jalanan. Mau tidak mau, kamu harus duduk khusyu’ di depan kuburan jika bergabung bersama kaum Sufi”, katanya penuh semangat.

Ia melanjutkan,” Namun berbeda sangat! Setelah saya mengenal Sunnah, Manhaj Salaf,apa yang dituntut? Saya tidak dituntut agar memberikan apa-apa untuk Ahlus Sunnah! Belajarlah agama untuk kepentinganmu sendiri! Shalat, puasa dan beribadahlah untuk kebaikanmu sendiri! Engkau berdakwah? Itu bukan karena dakwah membutuhkan kamu, tetapi kamulah yang membutuhkan dakwah!” “Apakah kamu pernah menangis bahagia ketika mengenal manhaj Salaf? “,tanya seorang peserta. Ia menjawab dengan bercerita tentang dzikir pagi yang biasa ia baca,

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻣَﺎ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﺑِﻲ ﻣِﻦْ ﻧِﻌْﻤَﺔٍ ﻓَﻤِﻨْﻚَ ﻭَﺣْﺪَﻙَ، ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻚَ، ﻓَﻠَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ، ﻭَﻟَﻚَ ﺍﻟﺸُّﻜْﺮُ

“Ya Allah,setiap nikmat yang aku rasakan di pagi ini, hanyalah berasal dari-Mu semata. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Maka segala puji dan syukur hanyalah untuk-Mu”[1]

“Setiap aku membaca dzikir di atas, aku yakin bahwa nikmat terbesar dalam hidupku adalah mengenal Sunnah, mendekap manhaj Salaf”, katanya mengakhiri kisah. Kisah panjangnya itu mengundang banyak tanggapan dari peserta.

“Man jadda wajada. Barangsiapa bersunggguh-sungguh, pasti ia akan memperoleh yang dicari”

“Man bahatsa amsaka. Barangsiapa mencari, niscaya ia akan merengkuhnya”

“Lan ya’rifa ahadun qadral halaawah illa man jarrabal maraarah. Tidak ada seorangpun yang benar-benar bisa menilai nilai “manis”,kecuali ia pernah merasakan “pahit”. Namun,yang terpenting dari itu semua adalah firman Allah Ta’ala ;

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﻓِﻴﻨَﺎ ﻟَﻨَﻬْﺪِﻳَﻨَّﻪُﻡْ ﺳُﺒُﻠَﻨَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻤَﻊَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar- benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. 29:69)

O0000_____ooooO

masjid ibnu taimiyah masjid ibnu taimiyah Saya teringat tentang sebuah malam di Masjid Ibnu Taimiyah,

Solo. Seorang bapak berpenampilan rapi terlihat begitu antusias di dalam kajian Islam selepas maghrib hari itu. Dengan ditemani Bang Indra, seorang sahabat dekat, mengalirlah perbincangan di antara kami. Saya, Bang Indra dan bapak itu.

“Akhirnya,saya menemukan apa yang saya cari-cari selama ini, Ustadz”, ujarnya. Secara ringkas, bapak itu bercerita tentang latar belakangnya sebagai seorang seniman. Kesukaan kepada dunia seni, menghantarkan beliau menjadi seorang dosen seni di sebuah universitas negeri di kota Yogyakarta. Karir mentereng di dunianya. Beliau sempat menyatakan,” Teman-teman saya banyak yang berpandangan atheis. Tidak meyakini keberadaan sang Khalik. Awalnya saya pun terbawa oleh pandangan tersebut.

Namun, saya mulai merasakan kegalauan dan kegelisahan”. Bapak itu bercerita tentang usahanya yang tidak pernah kenal lelah untuk menemukan penawar gelisahnya. Waktu dan kesempatan digunakan untuk melakukan browsing, berselancar di dunia maya. Mencari dan terus mencari. Agama Islam yang senyatanya banyak firqah dan kelompok sempalan di dalamnya, justru menambah semangat beliau untuk terus mencari.

“Nah, akhirnya saya ketemu dengan Mas Indra di masjid kampung, Ustadz. Saya mulai sedikit-sedikit merasakan apa yang selama ini telah hilang dari diri saya”, kata bapak itu. Tahukah Anda, di manakah titik kulminasi kegelisahan beliau? Ketika beliau, dengan dasar ilmu seni yang dimiliki, mengagumi keindahan alam semesta. Merenungkan keteraturan angkasa raya ini.” Keteraturan yang maha sempurna ini tentu membuktikan bahwa di sana ada Dzat yang mengaturnya!”, kata bapak itu penuh semangat.

Subhaanallah! Kegelisahan telah menghantarkan beliau ke Manhaj Salaf.Sebuah hasil pencarian. Perjalanan spiritual untuk meraih cinta Ar Rahman.Semoga Allah memberkahi beliau.

O0000_____ooooO

Bersabar untuk merengkuh nikmatnya hidup bermanhaj Salaf mengingatkan saya kepada sosok sederhana dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Perjalanan yang ia tempuh hingga akhirnya merasakan indahnya Manhaj Salaf terbilang berliku- liku. Profesi di bidang desain grafis ia tinggalkan karena tak bisa lepas dari gambar makhluk bernyawa. Sebuah keputusan yang semakin memperuncing konflik di dalam keluarga.

Istrinya menentang saat ia mulai memanjangkan janggutnya. Perubahan demi perubahan sikap belum bisa diimbangi oleh sang istri. Cekcok adalah santapan sehari-hari. Apalagi pihak keluarga besar sudah mulai ikut campur. Cerita-cerita yang ia sampaikan kepada saya memang menegangkan lagi mengharukan. Bahkan, istrinya pernah lari menghilang.

Subhaanallah!

Memang sudah menjadi sunnatullah, siapa saja yang bertekad untuk menjadi hamba yang shalih, harus dihadapkan dengan berbagai ujian. Apakah ia jujur? Apakah ia bersungguh-sungguh? Apakah ia mudah putus asa? Cepat menyerah? Untuk menguji, seberapa besarkah rasa cinta Nya kepada Allah?

Hari masih begitu pagi, saat ia mengetuk pintu rumah. Gelapnya malam belum terhapus bersih oleh siang. Pasti ada sesuatu yang sangat penting, pikir saya saat itu. Sambil menikmati sejuknya pagi, kami berdua terlibat perbincangan yang serius. Iya, di teras depan rumah saya. Ia tumpahkan semua uneg-unegnya. Ia curahkan endapan rasa dari hatinya. Hampir saja ia putus asa untuk membujuk istrinya. Menyedihkan!

“Begini, Mas. Setiap proses pasti membutuhkan waktu. Coba Panjenengan jawab pertanyaan saya,” Berapa tahun yang Antum butuhkan untuk berubah semacam ini? Sampai Antum benar-benar menerima Manhaj Salaf sepenuh jiwa? Lama kan? Bertahun-tahun kan?”, saya mengajaknya untuk berpikir tenang. Seringkali kita dikuasai oleh sikap egois. Kenapa egois? Bertahun-tahun lamanya kita berlari-lari, mengitari sekian banyak titik, untuk mencari kebenaran hakiki. Akan tetapi, setelah menemukannya, kita seakan “memaksakan” kebenaran itu kepada orang-orang yang kita sayangi. Kita seolah “memaksakan” dalam waktu sekejap, agar orangtua kita menjadi Salafy. Anak-anak, istri atau suami menjadi Salafy.

“Semua membutuhkan waktu, Mas. Panjenengan mesti bersabar! Buktikan bahwa setelah menjadi Salafy, Panjenengan semakin lebih baik lagi di dalam memperlakukannya sebagai seorang istri. Kesankan dan hidupkan kesan di dalam hati istri bahwa setelah menjadi Salafy ia akan bertambah bahagia, nyaman dan tentram!”, pesan saya.

Subhaanallah! Al Quluub bi yadillah. Hati manusia memang berada di antara jari jemari Allah! Waktu terus berjalan dan di sebuah saat, sahabat saya di atas menyampaikan,”A lhamdulillah, Ustadz. Istri saya sudah mau pakai jilbab”.

Beberapa bulan kemudian, ia bercerita kalau istrinya sudah mau diajak ngaji. Dan, sebelum saya berangkat ke Yaman, sahabat saya ini telah menyewa sebuah rumah sederhana di lingkungan Salafy bersama istri dan anak-anaknya. Walhamdulillah

O0000_____ooooO

Pagi ini saya berhenti sejenak pada ayat ke-39 di dalam surat Al An’am.

Sangat indah! Menenangkan hati sekaligus menghadirkan kecemasan. Hati menjadi tenang karena ayat tersebut sangat menghibur mereka yang telah berjuang menyuarakan al haq, menyerukan

Manhaj Salaf, namun berakhir dengan penolakan. Di kesempatan yang sama, ayat ini pun menghadirkan kecemasan, apakah kita mampu bertahan di atas cahaya hidayah sampai nafas terakhir esok? Melalui ayat tersebut,Allah berfirman,

ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺈِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻳُﻀْﻠِﻠْﻪُ ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺸَﺄْ ﻳَﺠْﻌَﻠْﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُّﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ

Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), Niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (QS. 6:39

Memberikan petunjuk atau menyesatkan adalah hak mutlak milik Allah. Semua ketetapan Nya pasti di atas hikmah dan keadilan. Al Fadhlu lillahi wahdah.

Namun, Allah tidak membiarkan umat manusia begitu saja. Jalan-jalan hidayah telah diterangkan secara sempurna oleh pesuruh-pesuruh Nya. Manusia diberi kemampuan melihat, mendengar, mencerna ,mengolah dan berpikir. Tanda-tanda kebesaran Nya jelas sekali terlihat di alam semesta ini. Ayat syar’iyyah dan ayat kauniyyah!

Ah, bagaimana dengan kita? Mampukah kita tetap istiqomah di jalan Allah sampai akhir hayat nanti? Ya Allah,tetapkanlah hati kami di atas Islam, As Sunnah dan Thalabul Ilmi. Amin yaa Arhamar Raahimiin.

_Daar El Hadith Dzamar_Republic Of Yemen_sebagian dinukil dari buku Resah, Kesah dan Gelisah Kita (dalam proses)_Sabtu 11 Shafar 1435 H/14 Desember 2013_

[1] Hadits Abdullah bin Ghannam Al Bayadhi riwayat Abu Dawud (5073) di dhaifkan oleh Al Albani. Adapun Syaikh Ibnu Baaz menghasankan sanadnya. Wallahu a’lam

http://www.ibnutaimiyah.org/ Sumber : forumsalafy.net, manhajul-anbiya.net, salafy.or.id, tukpencarialhaq.com, ilmusyar'i.com, salafymedia.com, kajiansalafy.net, alfawaaid.net, asysyariah.com, fawaid, tashfiyah.com, salafymedia.com, audiokajian.com,qudwah, qonitah, azka, rasyid, rii, rujukanmuslim.com



kata kunci : ku temukan cinta di dalam manhaj salaf >>
rujukan :
http://www.rujukanmuslim.com/#gsc.q=ku%20temukan%20cinta%20di%20dalam%20manhaj%20salaf ,
salafy.or.id, tags: salafy.or.id, label: salafy.or.id, kategori: salafy.or.id
(grup whatsapp dan telegram salafy, asysyariah, forumsalafy, alhaq, salafymedia, alfawaaid, kajiansalafy, radio rii, rasyid, ilmusyar'i untuk kata kunci " ku temukan cinta di dalam manhaj salaf " )

Monday, 16 July 2018

KESALAHAN YANG SERING DILAKUKAN IKHWAN DAN AKHWAT YANG BARU NGAJI





Kami sempat melakukanya diawal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. kemudian kami ingin membaginya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
4. Keras dan kaku dalam berdakwah
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
8. Tidak serius belajar bahasa arab
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia



Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini adalah Ini baru fase yaq’zah [keterbangunan], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar diatasnya.

Maka janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح

“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Dar Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره.

“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” [HR.Hakim Al-Mustadrok 3/357 no 5382, shahih]
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:

-ikhwan kuliah dikampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar dikota A. Menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama disana-disini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Iapun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.

-seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.

Kita seharusnya memperhatikan firman Allah Ta'ala:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’am: 141]

Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah:185]

Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:

-seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti di sangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:

Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:
درع المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”

Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhonya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hokum wajib didahulukan dari hokum sunnah.

Jika ia berkeyakinan bahwa cadar hukumnya wajib, konsekuensinya ia tidak memakai cadar maka akan berdosa. Maka diterapkan kaidah:
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.

” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

Dalam hal ini tentu saja yang paling ringan adalah tidak memakai cadar karena tidak ridhanya orang tua lebih berat konsekuensinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Dan murka-Nya ada pada murka orang tua.” [HR. Tirmidzi no. 1899, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3500]
-begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah diluar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat, maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi ditempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat.

Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” [Ali Imron:159]
4. Keras dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:
-seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata “ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya anti popokmu, sudah berani ceramahi saya”?

-seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukanya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.

-seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.

Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69]
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghapal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hapal dalilnya dan mengetahui metode istidlal , akan tetapi ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghapal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [HR. Muslim 55/95]

Yang dimaksud dengan nasehat adalah mengkhendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ "

“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah]

Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى


“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [At-Thoha:43-44]
Kepada orang selevel Firaun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman?. Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

Sunday, 27 May 2018

Tegar Dan Kokoh Diatas Manhaj Salaf

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; “manhaj” dan “salaf”. “Manhaj” dalam bahasa Arab sama dengan “minhaj”, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al-Mu’jamul Wasith 2/957)

Sedangkan “salaf” , menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan (Lisanul Arab, karya Ibnu Manzhur, 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah ﷺ, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-‘Aqil, 1/55)

Berdasarkan definisi di atas, maka “manhaj salaf” adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah ﷺ, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah ﷺ. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As-Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/21)

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Qur`an dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al-Firqatun Najiyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari an-naar (neraka) (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c), disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban z). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An-Najiyah, karya Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali)

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah ﷺ dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur‘an dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ di dalam Sunnahnya. Sedangkan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Adapun ayat-ayat Al Qur`an yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah ﷺ, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi’ah).” (Madaarijus Saalikin, 1/72)
Penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para shahabat Rasulullah ﷺ –yang mereka itu adalah Salafush Shalih– merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah ﷺ dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah ﷺ pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah ﷺ tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah ﷺ , juga dengan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al-Mirqat fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38)

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para shahabat Rasulullah ﷺ (As-Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalan para shahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah ﷺ dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah (surga-surga) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah-Nya untuk para shahabat Muhajirin dan Anshar (As-Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan jannah (surga) seperti mereka.
Al-Hafidz Ibnu Katsir t berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka berupa jannah-jannah yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367)
Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun hadits-hadits Rasulullah ﷺ adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah z. Lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455)
Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti Sunnah Rasulullah r dan sunnah Al-Khulafa‘ Ar-Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Rasulullah ﷺ –sebagaimana yang engkau saksikan– telah merangkai “sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin” dengan “Sunnah” beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti Sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti Sunnah Nabi mereka ﷺ, atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau ﷺ, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al-I’tisham, 1/118)

2. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari shahabat Tsauban z, hadits no. 1920)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ash-habil Hadits, karya Al-Khathib Al-Baghdadi, hal. 36)
Al-Imam Ibnul Mubarak t, Al-Imam Al-Bukhari t, Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Muhaddits t, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ash-habil Hadits, hal. 26, 37)

Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah ﷺ). Di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau ﷺ mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal. 131)

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3 Rasulullah ﷺ bersabda:
“Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam an-naar, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada’.” (Hasan, riwayat At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)
Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil –red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam an-naar, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Qur‘an dan Sunnah Rasulullah ﷺ dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
Ketiga, Rasulullah ﷺ telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah r sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir.” (Tarikh Ahlil Hadits hal. 78-79)

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah ﷺ itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para shahabatnya berada di atasnya.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah ﷺ, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah jannah yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah ﷺ .
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para shahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al-Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i t berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, karya Al-Imam Al-Ajurri, hal. 63)
2. Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit t berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As-Suyuthi, hal. 322, dinukil dari kitab Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54)
3. Al-Imam Abul Muzhaffar As-Sam’ani t berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88)
4. Al-Imam Qawamus Sunnah Al-Ashbahani t berkata: “Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/437-438, dinukil dari kitab Al-Intishar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat, 3/284, dinukil dari Al-Mirqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57)
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, ber-intisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149)
Beliau t juga berkata: “Bahkan syi’ar ahlul bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

Sumber

Disqus Shortname

sigma2

Comments system

[blogger][disqus][facebook]