PERKEMBANGAN zaman biasanya diikuti dengan
perubahan norma sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Kebiasaan
menggunakan cadar pun semakin diminati, penggunanya semakin banyak
bahkan mulai bermunculan komunitas-komunitas cadar khususnya di kalangan
remaja.
Selain menunjukkan bahwa cadar adalah bagian dari syariat Islam,
kehadiran merekapun berusaha meluruskan persepsi kebanyakan masyarakat
masih terkena dampak media, seolah cadar identik “teroris”.
Tak heran jika anggapan seperti ini kerap kali muncul, seringnya aksi
terorisme yang terekpos di Indonesia selalu pelakunya dikaitkan
dengansosok agamis, kaum celana cingkrang, jenggot panjang dan jilbab
bercadar.
Anehnya, UIN atau IAIN belakangan terlihat terbuka terhadap pemikiran Barat, tapi alergi corak keislaman berbau Arab |
Tuduhan seperti itu sangat tendensius, disamping masih banyak lagi
kejadian yang lebih keras efeknya dibanding isu terorisme baru-baru ini.
Bahkan koruptor yang jelas merugikan negara pun bisa terlihat agamis
saat menghadapi persidangan.
Menarik dari fenomena ini, belakangan ada salah satu kampus Islam di
Yogyakarta yang mengeluarkan peraturan bagi mahasiswanya yang bercadar.
Bukan sebuah larangan, tapi berupa pendataan dan pembinaan di setiap
lapisan civitas kampus. Melalui surat bernomor
B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta baru-baru ini mengeluarkan surat edaran ‘penting’ bagi
Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas dan Kepala Unit/Lembaga di
kampusnya. Perlu disoroti tujuan dari pendataan tidak lain melakukan
pembinaan bagi para pengguna cadar.
Pertimbangannya berupa peraturan kampus, dikatakan untuk
mengantisipasi masuknya aliran-aliran yang tidak diharapkan di
kampusnya.
Meskipun mereka sudah menjelaskan bahwa pihaknya tidak bermaksud
memberikan stigma negatif bagi mahasiswinya yang bercadar, namun upaya
untuk menginvestigasi kegiatan-kegiatan mahasiswa terselubung masih
tetap dilakukan. Setidaknya info ini yang dijelaskan oleh Waryono, Wakil
Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama (detik.com 22/2/2018).
Memang pada dasarnya kampus berhak mengeluarkan aturan yang
mengharuskan mahasiswanya terkait pakaian yang digunakan. Hal itu
merupakan bagian dari norma akademik kampus, yakni ketentuan, peraturan
dan tata nilai yang harus ditaati seluruh manusia berkaitan dengan
aktivitas akademik. Begitupun sanksi yang ditetapkan untuk jenis
pelanggaran baik yang bersifat akademik maupun non akademik.
Namun, hal ini tentunya dibatasi dengan peraturan yang berlaku. Dalam
Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa Pendidikan
Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: (b) Demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Jika kampus dituntut untuk tidak diskriminatif, maka aturan pendataan
dan pembinaan tertentu karena ditakutkan terkontaminasi aliran tertentu
bisa jadi dinilai diskriminatif tergantung sudut pandang yang
digunakan.
Penulis melihat mereka yang didata tentu merasa didiskriminasikan
karena dirasa dicurigai oleh pihak kampus, kecurigaan kampus tentu akan
berdampak kepada lingkungan kampus. Seharusnya menggunakan cadar adalah
hak asasi manusia dan bagian dari nilai agama Islam yang harus dijaga di
kampus Islam.
Bagi kampus yang mengeluarkan kebijakan merasa kebijakannya merupakan
bagian dari antisipasi kemungkinan rusaknya persatuan dan kesatuan
bangsa.
Namun hal itu harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernah
didapatkan penyebab hal yang dimaksud di kampusnya, jika tidak bisa
dibuktikan maka kampus dinilai paranoid terhadap mahasiswanya.
Adakah mahasiswanya yang ditangkap oleh badan anti terorisme karena
tindakannya merusak kesatuan bangsa, atau jika dikerucutkan mahasiswi
bercadar mana yang terlibat dalam memecah belah bangsa. Jika tidak
lantas kepentingan apa yang melatarbelakangi kampus memaksakan pembinaan
kepada seluruh mahasiswinya yang bercadar.
Kampus harus bersifat netral dan tidak boleh dikendalikan oleh
pengaruh apapun, setidaknya hal ini dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi.
Dalam penjelasan umum bahwa misi utama Pendidikan Tinggi adalah
mencari, menemukan,menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran.
Agar misi tersebutdapat diwujudkan, maka Perguruan Tinggi sebagai
penyelenggaraPendidikan Tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan
kontaminasiapapun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi,
sehinggaTridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian,
danpengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkankebebasan
akademik dan otonomi keilmuan.
Berlebih-lebihan
Mencurigai pengguna cadar secara general sebagai pembawa ideologi
impor adalah hal yang gegabah, ditambah pendataan dan pembinaan seluruh
mahasiswi bercadar dinilai langkah yang kurang bijak. Ditakutkan
berdampak kepada mental para mahasiswi bercadar di lingkungan
teman-temannya bahwa dirinya bagian dari golongan yang dimungkinkan
dimasuki aliran radikal. Sikap kampus kurang tepat karena secara tidak
langsung bahaya itu digeneralisir bagi kaum cadar, padahal kampus adalah
lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
Mengenakan cadar tidak lain untuk kebaikan pengguna dan orang yang
melihatnya agar terjaga dari fitrah. Tidak pantas memberikan stigma
negatif kepada para pengguna cadar, jangan sampai persepsi buruk
terhadap cadar malah menimbulkan ketakutan bagi para muslimah yang
awalnya tertarik ingin menggunakannya namun enggan karena sebab
kecurigaan. Biarkan mereka menggunakannya sebagai bentuk menjalankan
ekspresi keberagaman.
Jika merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E Ayat (2) bahwa setiap orang
berhak atas kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya. Penggunaan cadar dijamin oleh konstitusi Indonesia,
tidak berhak didiskriminasi dan direndahkan martabatnya. Sebagaimana
Pasal 28I Ayat (2) bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Tindakan kampus yang terlalu pro-aktif menanggulangi paham radikal
dengan mengawasi wanita bercadar justru menimbulkan stigma negatif di
tengah masyarakat. Awalnya bermaksud melakukan pembenahan namun dianggap
mencoreng nama kampus berlabelkan Islam. Publik berharap kampus Islam
seperti UIN mampu mencerminkan lingkungan ilmiah yang bernuansa islami.
Mengacu kepada Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Islam Nomor: Dj.I/255/2007 tentang Tata Tertib
Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam Pasal Pasal 3 tentang
Kewajiban dan Hak Mahasiswa bahwa setiap mahasiswa PTAI berkewajiban:
(6) Berpakaian sopan, rapi, bersih dan menutup aurat terutama pada saat
kuliah, ujian dan ketika berurusan dengan dosen, karyawan maupun
pimpinan. Khusus bagi mahasiswi wajib berbusana muslimah sesuai dengan
syari’at Islam.
Begitupun dijelaskan di Pasal 5 tentang Larangan bahwa setiap
mahasiswa PTAI dilarang: (1) Memakai kaos oblong/tidak berkerah, celana
atau baju yang sobek, sarung dan sandal, topi, rambut panjang dan/atau
bercat, anting-anting, kalung, gelang (khusus laki-laki) dan tato dalam
mengikuti kegiatan akademik, layanan administrasi dan kegiatan kampus.
Khusus bagi mahasiswi dilarang memakai baju dan/atau celana ketat,
tembus pandang dan tanpa berjilbab dalam mengikuti kegiatan di kampus.
Sejak dulu UIN dipandang sebagai kampus yang inklusif dan ramah
terhadap perbedaan pendapat, ragam pemikiran dan madzhab dari yang
paling kanan hingga paling kiri pun dapat kita temukan. Entah mengapa
belakangan ini terlihat terbuka terhadap mahasiswanya yang bercorak
Barat namun alergi terhadap corak keislaman karena dianggap budaya arab
dan tidak cocok bagi warga nusantara.
Meskipun masalah cadar sudah berulang kali dibahas bahwa
penggunaannya bagian dari syariat Islam bukan impor timur tengah.
Padahal di kampusnya dibahas hukum mengenakan cadar, maka hal yang wajar
jika ita temukan banyak pengguna cadar di kampus Islam dibandingkan
kampus umum lainnya yang tidak membahas seputar hukum cadar.
Hindari sikap standar ganda terhadap agama. Jangan sampai kita anggap
pengguna cadar adalah orang yang memposisikan diri ekslusif atau bisa
jadi anggapan itu muncul karena sikap egoisme kita ketika berkomunikasi
dengan mereka. Curiga bukanlah sikap menghargai keberagaman, alangkah
baiknya jika saling menghormati perbedaan khususnya dalam perkara agama
yang sama. Waspada memang bentuk sikap kehati-hatian namun jangan
dilandasi dengan kecerobohan, imbasnya bisa mengundang batil secara
kebetulan.
Badan Eksekutif (BE) Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus
(BKLDK) Jawa Barat. S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com
dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android
No comments:
Post a Comment